twitter


foto: jewelry hasil karya Mbak Diana Kea

Aku selalu senang bertemu dengan orang baru. Dengan segala kekhasannya, mereka selalu inspiring buatku. Banyak hal yang bisa "dipetik" dari mereka. Itu sebabnya, aku sangat terobsesi dengan pekerjaan sebagai wartawan. Bisa dipastikan setiap pekan selalu bertemu orang baru: nara sumber dari yang sudah punya nama hingga yang anonim, dari menteri hingga tukang cuci. (thanks God, aku merasakannya sudah).

Tak peduli apakah kemudian orang baru itu menyenangkan atau menyebalkan (subyektif memang). Kalau menyenangkan, dia berkah. Kalau menyebalkan, dia memberi hikmah. Setidaknya, kita jadi belajar bagaimana untuk tidak menjadi pribadi menyebalkan.

Paling berkah lagi kalau selain menyenangkan juga "klik". Artinya, alam pikiran (halah....) kami nyambung. Bicara apapun jadi enak.

Dan hari ini, aku "klik" dengan ibu ini. Kami sama-sama berminat pada craft, dan sama-sama merasa hidup lebih berwarna dengan craft. Sama-sama prihatin anak-anak kita jauh dari kegiatan "prakarya" atau "kerajinan", hal yang dulu menjadi bagian dari mata pelajaran di sekolah. Kini, banyak yang menganggap hal itu tidak penting. Apalagi, kita terbiasa (atau dibiasakan?) dengan gaya hidup instan. Kalau dengan uang Rp 10 ribu saja dapat tempat pensil, mengapa harus capek-capek bikin sendiri? Padahal, banyak manfaat crafting bagi anak lebih dari sekadar nilai uangnya (paling tidak kata http://crafts.lovetoknow.com/wiki/Craft_Ideas_for_Kids).

Dan, blio jago knitting, baik dengan satu atau dia jarum. Aku sampai terlongo-longo (apa ya, bahasa yang pas untuk bilang tertakjub-takjub) melihat bagaimana jemarinya menari mengurai gulungan benang menjadi lembaran "calon" tas baru hanya dalam dua jam saja.

Blio yang aktif di milis merajut ini berencana membuka kursus knitting (dan aku bersorak: horeeee!) dalam waktu dekat, serta membuka toko (online apa offline bu?---lupa nanya tadi) khusus keperluan knitting. Aku, yang sangat lugu (bahasanya sok imut betul...untuk bilang satu grade di bawah pemula) ini, mendaftar untuk menjadi muridnya. "Tapi mungkin butuh kesabaran ekstra, ya mbak, kalau muridnya kayak saya..," ujarku.

Jadi mari...mari....yang tertarik pada knitting dan bermimpi menghadiahi bunda dan suami kita dengan syal hasil tarian tangan sendiri, bergabunglah dengan saya menjadi murid pemula blio....




 Aku membuat Lula dengan free patern dari situsnya Hillary Lang (thanks, Hillary!). Kata anakku, Lula adalah kucing Manga, karena kepala dan matanya gede. Aku sih paling gemas dengan buntutnya.

Pertama, aku membreak-down si pattern ke ukuran yang sebenarnya. (Edisi lengkap aku posting belakangan. Fotonya ada di Hp soalnya, dan belum sempat download. Ini foto-foto terbaru Lula.....

Belang di kepala dan punggung pakai felt


Felt jingga dan kancing coklat untuk matanya. kalau punya Hillary pakai kumis, ini kumisnya gak aku pakaikan......aftershave ceritanya......

Lula and her Gank......


Tadi mengajar kelas menjahit di rumah. Siswanya, ini dia dan yang ini tertatantang untuk ikut kelas dari awal. Ada juga Tasya teman Rara dan Mayang. Sejujurnya, ini kelas paling seru. Sambil menjahit, kita ngobrol macam-macam, dari sekolah hingga film horor.

Kita memulai dengan hal paling dasar dalam jahit-menjahit: tusuk jelujur. Tiga anak membuat jelujur sepanjang Anyer-Jakarta, alias jarang=jarang betul. Wadhouwww.....Tapi lama-lama terbiasa juga. Menjahit, sama seperti menjalani hobi lainnya: adalah faktor kebiasaan bukan? Semakin sering kita praktikkan, akan semakin mahir kita menjalankah. Bukan begitu bukan?

Rara memilih untuk membuat pinguin (pinguin apa burung hantu ya Ra?), Tasya, Fha, dan Mayang membuat burung untuk praktik pertama. Syukurlah, tak ada insiden tertusuk jarum. Hingga dua jam tak terasa...

Yang ini Rara. Rasa ingin bisanya sangat tinggi. Mamanya jago membuat rajutan.

Tasya


Fha

Mayang


Tiap kali melihat bantal itu, aku kangen ibu, yang sudah makin sepuh. Ibu dan bapak masih semesra puluhan tahun lalu dan tinggal masih di rumah yang sama ketika kami kecil dulu,  di tempat asalku, Purbalingga, Jawa Tengah.

Bantal sederhana itu adalah salah satu wujud keteguhan hati wanita yang telah membesarkan lima buah hatinya bersamaan (usia kami anak-anak ibu hanya berjarak 1,5 tahun) dan dua orang "bonus" yang hadir kemudian setelah kami remaja.

Sembilan tahun lalu, ibu mengalami stroke. Pingsan di rumah sendirian saja, karena bapak sedang berkunjung ke rumahku, setelah menyelesaikan suatu urusan di Jakarta. Kakak tertuaku yang tinggal di kota yang sama mengantarkan beliau ke rumah sakit, sebelum dia mengabari seluruh adik-adiknya.

Beberapa hari dirawat di rumah sakit, ibu pulang dalam kondisi yang tidak prima lagi. Hidupnya harus disokong obat, bahkan sampai sekarang. Memorinya harus dikumpulkan lagi satu-satu. Tapi tekad ibu saat itu, adalah, "Aku harus sehat dan sembuh. Aku ingin main tampokan (badminton) lagi sama bapak."

Begitu tangan sudah mulai kuat, ibu kembali menekuni hobinya: menjahit (ingat kan, ibuku adalah "master" dalam urusan membuat baju kembar lima?). Karena tak ada kain baru, ibu memungut remah-remah kain yang tersisa, perca-perca sisa jahitan sebelumnya. Jadilah bertumpuk sarung bantal, taplak meja, serbet makan, hingga selimut. Dan ajaib, selama proses jahit-menjahit itu berlangsung, ibuku berangsur sembuh. Bahkan kaki mulai lihai kembali menggenjot mesin jahit.

Kami takjub waktu pulang kampung dan kumpul bersama, karya-karya itu terpajang dengan indahnya. Bantal perca ada di tiap kamar kami. Bahkan ibu juga membuat versi imut untuk bayi kakakku. Kami mendengarkan cerita bapak tentang kegiatan ibu pascastroke sambil tersenyum dan menangis.....

Kini bantal-bantal itu tersebar di rumah anak-anaknya dan menjadi bantal kesayangan para cucunya. Ya Allah, terima kasih telah menguatkan ibuku....


Tak perlu menunggu punya rumah besar dengan kamar banyak untuk mempunyai pojok pribadi kan? Aku berbagi ruang setrika dengan mbak Een di rumahku yang cuma 36 meter persegi itu untuk membuat tempat nyepi paling nyaman ini. Di sinilah aku menghabiskan akhir pekan beberapa minggu ini bersama anakku.















Meja rias aku keluarkan dari kamar. Di atasnya aku simpan perkakas jahit-menjahit. Kotak biru aku beli di pasar kaget dekat rumah, hanya Rp 10 ribu perbuah.
















Keranjang literatur. Isinya sebagian besar tentang home and decor, yang aku beli eceran di sebuah toko majalah impor bekas di Pasar Festival (catat: tiap pekan aku pasti ke sana!)

Bentuknya memang sudah tidak menarik, tapi isinya tak pernah basi. Dan yang pasti, penuh inspirasi. Kalau mau dapat yang rabat (dibawah 10 rebu), beli saja yang berbahasa Jerman atau Belanda. gak soal gak paham bahasanya, karena kadang gambar sudah menjelaskan segalanya bukan?


Siti Nurbaya dan kotak perca. Siti adalah mesin jahit yang sudah berpuluh tahun menemaniku. Walau kini sudah usang dimakan usia, namun terlalu sayang kalau Siti harus dibesituakan...











Mengapa aku memilih kamar belakang? Jawabannya sederhana: jendela kamar belakang menghadap langsung ke kebun anggrek ungu milik seorang petani anggrek yang enggan menyerahkan tanahnya pada developer tempat rumahku berada. Anggrek itu berbunga sepanjang tahun, tak kenal musim.
Karena banyak bunga, maka konsekuensi lain selain pemandangan indah adalah: banyak kupu-kupu aneka warna hilir mudik di sekitarnya, kicau burung bisa dinikmati sepanjang pagi, angin datang dan pergi tanpa perlu AC, dan ketika hujan jatuh, apa yang lebih nikmat ketimbang menyeruput kopi hangat sambil menonton butir-butir air jatuh satu-satu?










Belum ketahuan mau dijadiin apa. Mungkin tas selempang, mungkin dompet handphone, atau hiasan dinding....


Kantong tempel itu usang sudah. Aku membelinya tak lama setelah tinggal di Jakarta dan kost di sebuah paviliun yang masih kosong. Aku mengisinya dengan perabotan yang serba praktis da murah meriah tentu saja, sesuai kontong saat itu. Salah satunya, kantong gantung yang aku gunakan untuk menyimpan surat, pager (secara saat itu belum ada handphone!) dan batere serta pernik-pernik.
Aku menyadari pernah memiliki Paman Donald itu setelah bongkar-bongkar barang-barang lama tempo hari. Asli, sudah buluk betul. Tapi mau dibuang kok ya sayang. Jadi, aku akalin dengan melapis ulang bagian terbuluknya dengan warna senada. Lumayanlah. Bisa untuk menyimpan charger handphone yang kerap tercecer.


 foto: cover buku Ibu Mimin



Di surgakah? Oh bukan! Aku sedang berada di Dekranas Fair di Gedung Perdagangan di MT Haryono, Jakarta. Yup! Pameran aneka craft membuat aku seperti berada di puncak ekstase.
Di stand quilt dan patchwork, aku menonton demo quilting bedcover. Rumit juga ternyata. Untuk membuat satu bedcover, paling tidak butuh waktu satu bulan. Dapat dipahami bila harganya Rp 2,5 juta untuk ukuran king. Lha wong membuatnya sampai berdarah-darah gitu.
Selain stand quilting, yang membuat aku nyaman adalah stand sulam pita dan aneka kerajinan kain tentu saja. Sedang stand batik, ya gitu deh…seragam jaya. Semuanya memajang baju-baju batik yang sekarang sedang in.
Soal harga, jangan ditanya; sama sekali tidak bersahabat denganku. Muahal. Bahkan untuk sepotong baju yang tempo hari aku beli rabat di bawah seratus ribu, di situ dijual Rp 250 ribu.
Tapi ada satu yang membuatku “berbunga-bunga”, yaitu secara tak sengaja bertemu dengan Ibu Endang Rachminingsih, maestro sulam itu. Ibu Endang Rachminingsih yang akrab disapa Mimin Amir lahir di Bogor tahun 1951, bungsu dari dua bersaudara, ibu dari 4 orang putra yang sudah dewasa dan nenek dari 4 orang cucu. Alumni Fakultas Hukum, Universitas lslam Indonesia, Yogyakarta, ini mulai serius menangani dan menekuni sulam setelah suami tercinta menghadap Sang Pencipta pada tahun 2004. Pada awal 2005 mulai mengajar kerajinan tangan untuk anak-anak tuna rungu dan tuna grahita di SLB Meruya Selatan. Pada pertengahan tahun 2005, Endang Rachminigsih mulai memproduksi aneka macam tas wanita dengan hiasan sulaman yang mendapat respons bagus dari masyarakat. Pada tahun 2006, mendapat beberapa penghargaan, antara lain UKM (Usaha Kecil Menengah) berprestasi provinsi DKI Jakarta, Juara I lomba Produk Unggulan Kodya Jakarta Barat, dam Produk Unggulan tingkat provinsi DKI Jakarta.
Dan, Sabtu pekan depan aku akan ke rumah Ibu Mimin untuk belajar sulam pita di atas aneka serat…


(sedang belajar lagi menulis gaya straight news):

Multiply konon sekarang menjadi pasar yang hiruk-pikuk bagi saudagar Indonesia. Dapat dipahami ketika Menkominfo melakukan aksi pemblokiran beberapa situs, warga multiply yang berteriak paling kencang.

Bagi Yos Rizal, pria beranak satu yang kebetulan adalah suami saya, berdagang di multiply sah-sah saja. Apalagi antara seller dan buyer sama-sama menjadi pihak yang diuntungkan. Karena tidak mempunyai toko permanen, maka bebas biaya perawatan gedung, sehingga bisa memotong cost dan disubsidikan pada harga, alias menjadi lebih murah. "Bayangkan jika harus sewa kios di ITC," ujarnya.

Kedua, sangat kompatibel dengan kaum wanita yang berperan ganda. "Urusan domestik tak bakal telantar," ujarnya. Konsep home office kena banget kalau menggunakan internet (baca: multiply termasuk di dlamnya).

Berikut ini wawancara eksklusif reporter jahitmenjahit.blogspot.com dengan pria terganteng di seluruh dunia ini usai mengikuti ujian disertasi doktor kakak sepupunya:

JahitMenjahit: Multiply ternyata mengasyikkan ya?

YR: Hm?! (tampak tidak antusias, matanya terus memelototi jalan, tangan tetap memegang stir dengan posisi tegang).
JM: Kalau boneka-boneka karyaku aku jual lewat MP, laku gak ya?
YR: Zaman lagi susah. Orang gak mikir beli boneka. Mikirnya biaya pendidikan, beli ini-itu kebutuhan yang meroket harganya. Yang kaya, sibuk beli saham.
JM: Tapi kan lucu (pembelaan diri yang gak nyambung. Mulai depensif)
YR: Emang mau dijual berapa?
JM: Kalau Fha, yang boneka kaos kaki itu, djual Rp 20 ribu. Bagaimana?
YR: Kemahalan. Siapa mau beli.
JM: (mulai berkaca-kaca)
YR: Emang buat bikin boneka itu, biayanya berapa?
JM: lima belas ribu. Kan pake kaos kakinya dua pasang.
YR: Oh.
(diam lamaaa.......terus YR ganti topik: Sudah baca tulisanku di majalah yang baru belum?)


JM: (PATAH HATI)


Helo....namaku Biu dan Coky. Lahir tadi malam. Walau kecil, aku sudah berkumis....Tampang lengkapku ada di album. Sssttttt, aku akan menggangu kemesraan Sweety dengan kakak!! Ini rahasia kita ya.......


...Inilah dia....model kita pekan ini: Burung Kuning!!!!







Aku menamainya Siti Nurbaya. "Dia" hadiah ibu entah di ulang tahunku yang ke berapa (lupa, umurnya sudah banyak sih sekarang!). Pokoknya, di TV saat itu (of course TVRI, satu-satunya channel saat itu) sedang diputar serial Siti Nurbaya.

Dalam satu episode, Neng Siti yang diperankan Novia Kolopaking (kalo tidak salah) menjahit dengan mesin jahit yang digerakkan pakai tangan. Aku melihatnya dengan takjub...dengan semangkuk liur yang nyaris tumpah (sangat sangat ngiler lah pokoknya!)
Entah karena ibuku memperhatikan ekspresi wajahku atau kebetulan belaka, mesin jahit itu hadir di rumah pas di hari lahirku. Seorang tukang jahit keliling memutuskan untuk pensiun dan menjual mesin itu kepada ibuku. Mesin yang katanya warisan bapaknya yang juga seorang penjahit itu dilego hanya dengan harga Rp 25 ribu saja (saat itu).
Aku girang bukan kepalang. Acara jahit-menjahit menjadi lancar jaya. Aku rajin membuat apa saja dari kain apa saja (gak harus beli kain maksudnya). Paling senang kalau ada "insiden" yang menyangkut kain: bolong karena setrika, sobek secara tidak sengaja, kelunturan, kena noda, dsb.
Sarung bolong bisa jadi baju, sisanya dibuat tempat pinsil, sisanya lagi dibuat cempal. Ya dengan mengandalkan iti Nurbaya itu. Kemana pun aku berpindah tempat, Neng Siti mengikutiku.
Dulu sempat berpikir untuk mempensiunkan Siti setelah aku bekerja dan punya uang sendiri. Tapi tak kesampaian juga. Apalagi Siti tak pernah rewel. Enak dipakai, tidak berisik, dan yang pasti tidak repot. Aku terbiasa dengan mesin tangan, jadi kagok juga kalau harus menggunakan mesin yang lain.
Tapi usia memaksa Siti harus menyerah.
(Dua bulan ini aku menekuni hobi dengan jahit tangan saja, tidak pakai mesin. Siti aku taruh di ruang craft tempat aku menenggelamkan diri saat akhir pekan. Aku sedih...)


Aku punya beberapa bahan untuk membuat gantungan kunci. Gampang banget bikinnya. Aku sudah buatkan "jalan jarum" berupa titik-titik, jadi anak kita tinggal keluar-masukin jarumnya saja melewati jalur itu. Bila berminat, transfer pengganti biaya kirim saja. Atau kalau teman-teman tinggal di radius Pamulang-Ciputat-BSD, bisa diambil Sabtu pekan depan di Taman Kota BSD. Sepakat kan, kalau liburan anak kita isi dengan hal-hal bermanfaat?
(Foto lengkap menyusul. Internet lagi agak bolot)


Ini jadwal akhir pekan kami: membuka internet bersamaan, kakak di PC ayah di laptop. Aku? Nyengir jaya tak kebagian! Jadi, mengaduk kamar setrika mencari-cari apa yang bisa dimainkan. Trada.....ketemu kain batik sisa membuat baju kakak. Lebarnya lumayan, sekitar 1,25 meter.
Sedianya, mau dipasang di kamar yang baru rampung digasar-geser Jumat lalu. Tapi korang cocok temanya. Jadi dipasang di jendela depan.
Simsalabim, dengan modal Rp 7.500 saja (buat beli pita), jadilah tirai baru....





Perkenalanku dengan dunia jahit-menjahit pertama kali terjadi di umurku yang ke-10. Awalnya, karena gemas melihat ibu yang selalu "sukses" membuat baju-baju kami -- lima anak, satu corak kain, jadilah kami kembar lima tidak beraturan (paling sebel kalau ada yang meledek: tambah satu dapat gelas!)

"Korban" pertamaku adalah sprei yang bolong karena kelamaan terpapar setrika (secara tahun 1980-an, setrika listrik tak ada tombol otomatis pengatur suhu). Dengan sedikit arahan sang suhu -- yang adalah ibuku, ahli pembuat baju kembar lima itu -- jadilah daster pertama buatan tanganku. Bangga rasanya mengenakan sesuatu hasil keringat sendiri (dramatisasi mode on! ).

Tadi pagi, sambil menemani bojo surojo tercintah yang tengah sibuk mengumpulkan bahan untuk menulis kolom di sebuah surat kabar tentang bola, aku keingetan pashmina ungu oleh-oleh teman dari Yogya. Bagus sih, tapi insiden kelunturan mengubah segala keindahannya.

Maka, aku mengulang kejadian berpuluh tahu lalu. Membuat daster dengan cara yang sama. Lumayan. Paling tidak, si kakak, sulungku yang beranjak remaja,  sangat bangga mengenakannya!

Ini cara paling sederhana untuk membuat baju, dijamin 30 menit siap.


Pertama-tama:

1. Lipat pasmina jadi dua, lubangi bagian tengahnya. Lebarnya dikira-kira sendiri saja, asal pas buat kepala. Kalau besar kepala, maka besar pula lubangnya :)




Rapikan bagian lehernya, dengan dikelim kemudian dijahit atau di-soom tangan.





















2. Jahit kedua sisinya. Sisakan bagian atas untuk tangan, kira-kira 30 cm (15 cm depan 15 cm belakang).

















 3. Siap grakkkk! Kalau kepanjangan tinggal dipotong bawahnya. Atau biarkan saja, jadi aksen. Gak perlu jahit bawah pula.





Ini karya yang jadul punya. Dibikin sebelum Indonesia merdeka..he..he...Enggak sih...zaman masih kuliah, hampir 15 tahun lalu. Diperutnya, aku menyimpan tisu. Si Beruang ini menjadi saksi bisu saat: berderai-derai berpisah dengan pak Mantan, ingusan sepanjang menyiapkan skripsi, gagal ujian karena salah baca jadwal...
Walao doi kini jadi agak reman gitu, karena matanya ilang satu, tapi masih tampak imut kan? Mau dipensiun rasanya kok enggak tega rasanya. Pokoknya, 15 tahun kami saling setia....




Tadinya, saya "naksir" berat tempat handphone di gerobak pernik-pernik yang ada di Citos pas Ladies Bazaar pekan lalu. Tapi "belajar menahan diri"-nya sukses jaya. Malah menantang diri untuk membuat yang lebih bagus *sombong, sikap tak terpuji*

Maka, saya memutuskan untuk mencoba membuat sendiri.

Begini cara saya membuatnya:



#       "Muka" kelinci dipasang dulu. Nantinya, ini akan menjadi bagian depannya. Kainnya tak perlu beli baru. Perca sisa-sisa saja. Kalau gak ada, guntinglah rok yang sudah tak kepakai juga tak apa










Begini jadinya. Cute kan, tampangnya?









#      Sisi bagian belakang dibuat kemudian







Lalu dipasangkan ke bagian tengah, yang merupakan dua carik kain yang dilekatkan jadi satu. Dengan lem? Bukan! Dengan benang dan jarum tentu saja. Dijahit yang kuat, getooo...



Maka, gak sampai tiga tahun satu jam kemudian, Tradaaaaa.......




Ini dia proyek akhir pekan kakak; mambuat boneka super imut yang diberi nama Pingu, alias si pinguin. Awalnya, dia membuat dengan malas-malasan, namun lama-lama "ketagihan". Jadi, sisa semangat menjahit yang masih meletup-letup itu ditumpahkan dengan membuat bantalan jarum buat ibunya (thanks ya kakak). Owya, kami melewatkan akhir pekan murah_meriah. Tidak jalan (karena Miss Norva libur) dan tidak pula ke mal, "hutan" yang menjadi tujuan akhir pekan hampir separo orang Jabotabek. Kita keluar sebentar ke toko busa di Ciputat untuk membeli dakron (dakronnya cuma Rp 20 ribu, tapi klaim Garda Otonya Rp 100 ribu karena si item nyerempet pembatas jalan!) dan ke toko alat jahit yang lumayan lengkap di Pamulang.
Kakak berubah menjadi kidal saat menjahit!

Si Pingu. Paruhnya memakai kain flanel oranye. Permeter harganya Rp 20 ribu. Baru tahu aku: mahal. Makanya dipakai seperlunya saja.


  • 17 inches of 3/8-inch-wide double-faced satin ribbon for each bookmark
  • Beads with large openings (available at crafts and discount stores); for the Fuchsia Bookmark, select 3 clear blue faceted beads and 1 white frosted bead;
    for the Fringed Bookmark, choose 2 silver beads

For the Fringed Bookmark:

  • Multicolored silver-lined large rocaille beads (about 100)
  • 25 silver seed beads
  • Beading needle
  • White beading thread

Instructions:
Fuchsia Bookmark: 1. Tie a knot 1 inch from the end of the ribbon. Slide beads from the opposite end of the ribbon up to the knot. Tie a knot on the other side of the beads to hold in place.
2. Measure 10 inches from the inside knot and tie another knot. Put on the remaining bead(s) and slide up to the knot. Tie another knot against the last bead. Trim the ribbon ends.
Fringed Bookmark: 1. Tie a knot on one end of the ribbon and trim the end close to the knot. Thread the beading needle and go through the ribbon knot to secure the end of the thread in the knot. String on 19 multicolored rocaille beads, then 4 silver seed beads. Take the needle back through the rocaille beads. The seed beads will form a loop at the end. Go back through the ribbon knot, pulling the thread so the fringe hangs below the knot. Repeat with another string of fringe. Make 5 strings. Secure the end of the thread in the knot.
2. Slide on a silver bead from the other end of the ribbon and pull over the ribbon knot holding the fringe. Tie a knot against the bead to hold it in place.
3. Measure 10 inches from the last knot made in Step 2 and tie another knot. Slide on a silver bead and tie a knot on the other side of the bead to secure. Trim the end of the ribbon.

More Ideas:
  • To personalize a bookmark, write a name on the ribbon using a permanent marker or a fabric-paint pen.
  • Make both beaded ends the same and use your ribbon as a gift tie to cinch up a surprise sack.