twitter


Kadung dijanjikan, Adek mulai tak sabar menunggu boneka ular pesanannya. Sementara emaknya otaknya masih mereka-reka apakah ular alan dibuat meliuk atau memanjang, apakah mangap atau mingkem, apakah jenis kelaminnya laki-laki atau perempuan ( hah?!).

Dalam bayanganku, boneka ular itu harus feminin, biar kakak ikut merasa memiliki. Maka aku membuatkan korsase-nya terlebih dulu (maaf ya, ular di Pamulang memakai pita dan korsase...he..he...). Baru setengah jalan, Adek mulai tak sabar. "Ayolah ibu, aku tak sabar dengan ularku...!"

Maka, aku pun memutuskan cepat: membuat ular panjang dengan mulut mangap dan lidahnya terjulur berwarna pink.



Bahan:
* Kain putih 10 X 10 cm
* Kain bergaris 6 X 115 cm
* 2 buah manik-manik
* pita kecil 7 cm (untuk lidah)
Cara membuat: ***Diposting kemudian.




href="http://rumahperca.multiply.com/photos/hi-res/upload/SLJWfwoKCm0AAD7iPw81">


Darurat judulnya.

Jari tengah tangan kanan mulai kapalan. Jari telunjuk tangan kiri mulai kebal jarum. Ya. Berasa juga hari-hari tanpa mesin jahit...

Mau membeli yang baru, masih garuk-garuk kepala lihat harganya. Mesin Singer 140 W yang dulu sekitar Rp 1,8 juta, kini berubah harga. Untuk tipe paling sederhana yang aku incar, harus tersedia uang paling tidak Rp 2,5 juta. "Mesin sudah tidak diproduksi di dalam negeri," ujar pemilik toko. Maka aku memutuskan balik kanan dan gigit jari dulu untuk sementara.

Sampai sekitar dua pekan lalu, iseng-iseng melongok reward Citibank untuk pengutang setianya he..he..). Ada gambar mesin jahit di situ. Kemudian berhitung dengan poin yang sudah aku kumpulkan untuk mendapatkannya. Wah, pas. Ternyata hanya butuh 19.000 poin saja. Beres. Aplikasi penukaran online segera aku isi, dan seminggu kemudian mesin itu sudah tronggok manis di meja.

Apa mereknya? Tanpa merek. Bahan dominannya plastik dan mika. Pengoperasiannya sederhana. Ada tombol untuk jahit cepat dan lambat. Lampu kecil terdapat di atas tempat jarum, sangat membantu untuk menjahit yang butuh ketelitian. Kelemahannya, tidak ada setelan untuk ukuran jahitan, tidak bisa untuk menjahit kain yang tebal, dan tidak bisa memijat..eh salah... tidak bisa diajak "ngebut".

Tapi aku terbantu sekali. Apalagi kalau pas sedang menjahit, datang Adek dan menawarkan diri untuk menginjakkan pedalnya. Sembari menginjak pedal, mulutnya tak henti-henti menirukan suara mesin mobil balap: serasa menjadi Rossy yang tengah berlaga.

Judulnya mungkin bukan darurat lagi. Tapi emak girang, anak ikut senang. Halah....

***********************************************************************


foto: yourashford.co.uk


Apa cita-cita Anda ketika kecil dulu? Aku dulu mengidamkan jadi pegawai kantor pos. Selalu menguntit ibu yang adalah seorang kepala dinas pertanian kecamatan mengirimkan laporan Bigra setiap bulan ke minimal 10 instansi, aku membayangkan enaknya jadi tukang stempel di kantor pos. Bila untuk membuat laporan itu ibu harus ngelembur, dia hanya cukup menyediakan bantalan dan cap yang ujungnya panjang melengkung. Jebret-jebret-jebret...dalam waktu singkat, amplop-amplop berisi angka-angka yang disimpulkan ibuku semalaman dari laporan para petugas pertanian lapangan sudah masuk dalam keranjang; siap dikirimkan.

Ketika aku mengemukakan cita-citaku pada ibu, blio mengangguk-angguk saja. “Tak ingin menjadi dokter?” tanyanya. Aku menggeleng mantap.

Besar sedikit, cita-cita bergeser menjadi guru, lalu pedagang (tapi yang punya timbangan dengan anak timbangan banyak...), lalu relawan di pedalaman. Menekuni pekerjaan yang aku geluti sekarang, tak pernah ada dalam kamusku.

Pekan lalu, di sela-sela kesibukanku menyiapkan tulisan tentang kopi Harar -- aku pengopi, seorang teman meminta tulisan untuk majalahnya -- dan puasa bagi diabetasi --- berdasar pengalaman menyiapkan menu untuk Jose yang seorang diabetasi -- aku menguping celotehan anak-anakku.
Kakak, dulu mengidamkan pekerjaan menjadi "pembuat uang; biar ibu tak usah bekerja, dan mesin ATM ada di depan rumah" kini mengidamkan hal baru: menjadi wizard alias tukang sihir. "Tapi yang baik hati," katanya.

Menjadi tukang sihir putih adalah tema obrolannya beberapa hari ini. "Boleh kan, aku menjadi pelukis dan the wizard?" tanyanya. Aku yang otaknya sedang lebih tune in ke tulisan, mengangguk saja.
Dengan menjadi wizard, kata dia, dia bisa berbuat banyak. Menolong orang, membahagiakan keluarga, dan membuat yang tidak mungkin menjadi mungkin.

Adiknya, teriak tak kalah lantang, "Aku ingin jadi pawang ular!"Tampaknya, dia mulai terobsesi dengan Animal Planet yang rajin ditongkronginya.

Terkejut sejenak, aku dan Jose makin terbiasa.

Seperti halnya kedua orang tua kami membebaskan kami untuk bercita-cita apapun, maka kini kami pun membebaskan anak-anak untuk berkhayal tentang cita-citanya. Tapi kalau benar menjadi penyihir dan pawang ular?????? Oh My God....ampyun...ampyun....

Foto dari:
www.imdb.com




Aku kehilangan banyak akhir pekan belakangan ini. Sibuk mondar-mandir untuk beragam urusan, lalu ke Palembang, lalu ke Purbalingga dan Pekalongan seminggu kemudian. Minggu ini baru aku merasakan nikmatnya berada di rumah 36 meter persegi kami. Meski AC ngadat dan -- you know lah...bagaimana rasanya...tubuh serasa meleleh -- rumah seperti kapal pecah, namun kami menyempatkan membuat proyek bersama. Temanya kali ini: hiasan dinding.
Awalnya, biasa....kakak malas-malasan. "Mencabut"-nya dari depan komputer di akhir pekan bukan pekerjaan yang gampang. Harus kuat rayuannya. Tapi begitu crayon sudah tersebar, dia antusias. Proyek dia, membuat tampilan situsnya di atas kertas (tak jauh-jauh dari apa yang membuatnya super duper sibuk di hari liburnya...)

Si kecil Azam, yang cita-citanya menjadi pawang ular (...) seperti biasa terobsesi dengan dunia fauna. Apalagi hari ini dia girang betul mendapat nilai 80 untuk gambar ikan yang dibuatnya. Maka dia membuat alam bawah laut menurut versinya. Sunyi...sepi...samudera seluas itu hanya ada dua ikan besar dan kecil.....).

Sejam kemudian, dua belahan jiwa itu sudah selesai dengan proyeknya..






Bagaimana dengan emaknya? Aku membuat lukisan dengan perca. Memindahkan gambar pemandangan zaman kita kecil dulu: dua gunung, satu pohon, ada matahari di atasnya. Lalu angka tiga rebah, burung bangau terbang.
Lalu bojo surojo? Ah...dia dikerjain aja untuk jadi model. Begini gayanya:












Dunia craft Indonesia pernah mempunyai aset yang menurutku sangat berharga, Ibu Lia Aminudin. Ketika kerajinan bunga press (apa sih, istilah tepatnya?) belum populer di sini, blio datang dari Belanda dan mengenalkannya.
Dulu, ketika SD, aku selalu berlama-lama di depan teve (TVRI, geto!) menunggu acaranya. Penjelasananya sangat gamblang dan "menantang" untuk mencoba. Setelah acara selesai, aku pasti akan segera meloncat ke taman kecil ibuku untuk memetik bunga aneka warna dan daun aneka bentuk. Kemudian mengendap-endap ke ruang kerja bapak dan menyelipkan bunga-bunga itu di tumpukan laporan tahunan dewan atau buku-buku tebal koleksi Bapak. (Prenah Bapak murka jaya, karena hasil ketikannya belepotan noda dari bunga-bunga pressku. Padahal, hasil kerja berminggu-minggunya itu harus dipresentasikan di hari blio murka itu....)
Beberapa minggu kemudian, aku akan terkagum-kagum sendiri dengan keajaiban yang terjadi: aneka bunga kering press yang siap untuk ditempelkan di kertas karton dan dibingkai.
Puluhan tahun kemudian, blio muncul lagi di banyak TV (dunia pertelevisian berkembang, dan TVRI makin terpinggirkan) tapi untuk hal yang lain; aktivitas blio di Salamullah yang membuatnya bersinggungan dengan aparat hukum.
Lepas dari bahwa aku bukan simpatisan dan tidak kenal sama sekali dengan Ibu Lia dan Salamullahnya, aku sangat kehilangan dia. Mestinya, di jagat craft, blio bisa berkiprah banyak. Bisa membuat kemaslahatan lebih besar dengan mengajarkan bnyak keahliannya kepada generasi berikutnya...


Kadang suka gak percaya, janin segumpal yang dulu ada di perut gendut ini kini sudah menjadi teman curhat paling mengasyikkan ...
Juga, sudah mulai bisa diberi tangung jawab: menjaga adik (kata simbahnya, dia mengawal sang adik dengan sangat sempurna), membagi waktu, belajar sendiri, pulang pergi sekolah dan kursus sendiri. Juga kabur mencegat ojek ketika jemputan tak datang-datang ...
Dan kini...dia juga bisa menjadi asistenku yang paling andal di jagat internet. Saat aku pergi untuk beberapa hari ke luar kota...dia "menjadi aku" dan mengawal seluruh blogku: mengganti tampilan MP, hingga melaporkan setiap message yang aku terima.
Gumpalan janin itu kini sudah menjadi bidadari jelita............