0
comments
Posted in
Labels:
blog
Aku tak tahu apa yang terjadi dengan anak-anakku kemarin, saat gempa yang lumayan berasa dan berlangsung semenitan itu. Panikkah? Ketakutankah? Atau hanya aku yang panik dan ketakutan -- bukan karena gempa itu -- tapi membayangkan apa yang terjadi dengan kedua cindilku itu.
Berlebihan? Tentu tidak, karena di rumah ya hanya mereka berdua. Mbak Rayem beberapa hari ini absen, sakit. Segenap instruksi meluncur tiap mereka hendak berangkat sekolah: nanti pulang sekolah langsung ke rumah; kunci ibu taruh di tempat biasa; kunci pintu depan rapat-rapat; tak usah dibukakan pintu siapapun orang yang datang; bila ada orang tak dikenal bertamu, berlaku senyaplah seolah-olah kalian tak berada di dalam rumah; dll.
Maka aku segera menelepon mereka. Mati. Ke ponsel juga. Mati. Telepon Jose, dia masih rapat. "Tar habis rapat aku telepon balik," ujarnya, sebelum aku sempat ngomong kecemasanku.
Berpuluh kali aku pencet telepon, tak juga menyahut. Telepon tetangga jelas tak menolong; sebagian mereka juga mungkin sedang mengalami hal yang ama denganku di kantor masing-masing!
Tiba-tiba aku teringat Pok Saroh, pedagang sayur asli Betawi yang rumah luasnya ada di belakang kompleksku. Yang terima Pipah, anaknya yang sebaya anakku. "Mama lagi pergi," ia menjawab. Aku hanya menitip pesan, kalau Pok Saroh pulang, tolong tengokin Kakak dan Azzam.
Sejam, dua jam...Ponsel berdering. Anakku. "Tenang bu, aku baik-baik saja," ujarnya. Beberapa saat setelah gempa, kata dia, Pok Saroh bertamu ke rumah. Dia memastikan anakku baik-baik saja, tepat pada saat aku meneleponnya dan Pipah bilang mamanya sedang pergi!
Setelah itu, datang Pak Bambang, tetangga sebelah rumah dengan dua anaknya, melakukan hal yang sama. Rupanya, setelah rapat Jose mengabsen satu-satu siapa tetangga yang masih ada di rumah.
Gempa membukakan mataku bahwa: Benar kata Rasulullah, tetangga adalah utama. Menjaga hubungan baik dengan tetangga adalah segalanya dalam Islam. Bahkan, Rasulullah menyatakan tak akan mencium bau surga seseorang yang membiarkan tetangganya kelaparan.
Ketika kita tertimpa musibah, atau perlu pertolongan segera, bukan saudara atau sahabat kita yang ada di tempat berbeda yang pertama kali datang. Tapi orang yang ada di sekitar kita; tetangga.
Pulang kerja, berbanding terbalik dengan kecemasanku, mereka sahut-menyahut menceritakan pengalaman merasakan gempa yag cukup kuat. Kakak yang tengah tertidur bangun karena merasa Adek menggoyang-goyang dipannya. Namun ketika melek, dilihatnya sang adik masih khusyuk di depan komputernya. Mereka berlari ke halaman belakang setelah menyadari, "Gempaaaaa!" . Berteriak serempak mereka bercerita.......