Saya sedang membaca Perahu Kertas, novel yang ditulis selama 55 hari oleh Dee aka Dewi Lestari. Saya agak tertarik dengan penulis favorit bojo saya saat secara kebetulan, mengekor dia mengantar sahabatnya, seorang sastrawati Bali, yang akan baca puisi di ajang -- apa ya, kok jadi lupa saya? -- di Salihara. Salah satu penampil selain dia adalah Dee.
Saya telat menyadari novel terakhir Dee, Perahu Kertas, sudah beredar di pasaran (kemana saja ya, saya selama ini???). Saya memergokinya teronggok manis di front depan Gramedia Pejaten Vilage. Saya agak menahan diri untuk membelinya -- sesuai tekad saya "diet" kartu kredit di bulan Februari -- dan baru membelinya pekan lalu di bulan Maret, awal bulan selagi "amunisi" masih tebal, di Gramedia Teras Kota BSD.
Tak seperti promosinya, saya kok membaca karya Dee yang terakhir ini tidak segurih karya-karya sebelumnya ya? Kurang cermat kalau menurut saya. Tidak seperti saat menulis Filosofi Kopi yang mengalir dan detil.
Contoh kecil saja, di awal tulisan, di bab ketika Kugy menjemput Keenan bersama sahabatnya dan Eko, pacar sang sahabat. Hari gini gitu loh, mencari orang di stasiun kok susah amat. Ada ponsel kan???? Kenapa gak ditelepon saja, toh dari awal cerita -- kendati dia bilang Perahu Kertas sempat mati suri bertahun-tahun -- ada dialog yang menyinggung-singgung soal ponsel (walau saya yakin, saat Dee mulai menulis Perahu Kertas, era ponsel belum seheboh sekarang, ini yang membuat Perahu Kertas banyak "bolong"-nya...).
Kenapa Kugy harus repot-repot nyolong mikrofon petugas KA hanya untuk mencari Keenan. Apa susahnya dengan: Eko menelepon ortunya untuk meminta telepon Keenan, kalau dia lupa?
Itu satu.
Kedua, Jakarta-Bandung, ribet banget naik kereta yak? Pakai travel aja mas, dua jam nyampe dan gampang pula menjemputnya.
Atau mestinya Dee lebih cermat lagi: di awal kisah disebutkan, kalau novel ini settingnya tahun 1990-an saat era ponsel belum mendominasi seperti sekarang, belum ada tol Cipularang yang menyingkat jarak Jakarta-Bandung hingga sedemikian dekat, dan kereta api masih menjadi satu-satunya andalan dengan jam kedatangan yang angin-anginan.
Ih...nyinyir banget ya, saya. Padahal belum kelar membacanya. Mesti "saingan" dengan proyek bikin bantal duduk dengan lukisan Adek pula. Lanjut dulu ah...