0
comments
Posted in
Tuhan selalu punya cara untuk segala sesuatu. Termasuk membaca, hal yang lama saya tinggalkan karena beragam alasan. Apa ya, buku terakhir yang saya baca utuh? Huda Bidadari Cinta Kami, Perahu Kertas (separo saja), Buku Saku Keliling Asia (katam).
Selebihnya, lihat di pojok sana: Selimut Debu masih terbungkus plastik. Anak-Anak Toto Chan (lanjutan Toto Chan-nya Tetsuko Kuroyanagi) sudah terbuka plastiknya tapi cuma kebaca pengatarnya doang. Ada beberapa buku yang dibaca separo-separo, yang kalau mau melanjutkan harus dibaca dari pertama: To Kill a Mockingbird juga A Short History of Tractor in Ukranian (ini novel, bukan buku tentang mesin-mesin pertanian :-p) dan...Teman Empat Musim, kumpulan cerpen Ida Ahdiah.
Dan hari ini, Tuhan membukakan jalan bagi saya yang sok tak punya waktu untuk membaca: dengan sakit. Terbaring, apa yang enak dilakukan selain membaca? Maka Teman Empat Musim, berpindah ke dipan saya.
Dari cerita pertama, Suong Memilih Perayaan, Ida sudah membawa kita menghirup hawa Kanada. Ada 26 cerita lepas tentang kehidupan --sebagian besar tentang kaum migran -- di negeri asal Justin Bieber itu dikupas Ida, detil.
Ida beberapa tahun tinggal di Kanada. Saya lupa kalau saya sedang membaca cerpen, alias cerita pendek, alias cerita fiksi. Semua tokohnya saya pikir adalah orang-orang nyata, orang-orang di sekeliling Ida. Saya seperti tengah membaca diari, atau refleksi, atau apalah namanya.
Dalam buku ini, Ida kerap menyentil kita, kaum perempuan, tanpa menggunakan bahasa "harus begini harus begitu". Dalam Enza Membuat Kami Disandera, misalnya, ia menyentil kita yang demi penampilan dan gaya, mau melakukan apa saja; bersedak-desak di area sale, memburu diskon hingga ke kota yang tiga jam perjalanan lamanya, hingga membeli aneka barang bermerek aspal -- biar palsu, asal bermerek.
Suatu hari saat minum kopi di sebuah mal di Jakarta Selatan, Ida menyatakan bahwa bukunya adalah kumpulan kisah sehari-hari yang sangat biasa. Saya setuju.Cerita sehari-hari yang dikemas dalam bahasa yang apik, menjadi sebuah kisah yang menarik dan menyegarkan.
Ia menambahkan, "aku" dalam cerpennya bisa siapa saja. "Bisa aku, kamu...ya siapa saja," katanya. Kalau yang ini, saya tak sependapat (sorry Ida!). "Aku" dalam cerpen itu bagi saya, tetap Ida, yang menceritakan tentang apa yang terjadi di sekitarnya. Melalui Soun, Farah, Laetitia, Daniella, dan tokoh lainnya, Ida bertutur tentang keberanian, kearifan, ketegaran, dan bangkit dari keterpurukan. Juga tentang kompleksitas tinggal dalam lingkungan yang multietnik. Bak fotografer, tak ada momen "indah" yang luput dari catatan Ida.
Saat menuliskan ini, saya baru separo melahap isi buku itu. Tak sabar segera sampai ke halaman 243, halaman terakhir bukunya. Sungguh gurih dan renyah! Saya bahkan lupa akan sakit saya.
Selebihnya, lihat di pojok sana: Selimut Debu masih terbungkus plastik. Anak-Anak Toto Chan (lanjutan Toto Chan-nya Tetsuko Kuroyanagi) sudah terbuka plastiknya tapi cuma kebaca pengatarnya doang. Ada beberapa buku yang dibaca separo-separo, yang kalau mau melanjutkan harus dibaca dari pertama: To Kill a Mockingbird juga A Short History of Tractor in Ukranian (ini novel, bukan buku tentang mesin-mesin pertanian :-p) dan...Teman Empat Musim, kumpulan cerpen Ida Ahdiah.
Dan hari ini, Tuhan membukakan jalan bagi saya yang sok tak punya waktu untuk membaca: dengan sakit. Terbaring, apa yang enak dilakukan selain membaca? Maka Teman Empat Musim, berpindah ke dipan saya.
Dari cerita pertama, Suong Memilih Perayaan, Ida sudah membawa kita menghirup hawa Kanada. Ada 26 cerita lepas tentang kehidupan --sebagian besar tentang kaum migran -- di negeri asal Justin Bieber itu dikupas Ida, detil.
Ida beberapa tahun tinggal di Kanada. Saya lupa kalau saya sedang membaca cerpen, alias cerita pendek, alias cerita fiksi. Semua tokohnya saya pikir adalah orang-orang nyata, orang-orang di sekeliling Ida. Saya seperti tengah membaca diari, atau refleksi, atau apalah namanya.
Dalam buku ini, Ida kerap menyentil kita, kaum perempuan, tanpa menggunakan bahasa "harus begini harus begitu". Dalam Enza Membuat Kami Disandera, misalnya, ia menyentil kita yang demi penampilan dan gaya, mau melakukan apa saja; bersedak-desak di area sale, memburu diskon hingga ke kota yang tiga jam perjalanan lamanya, hingga membeli aneka barang bermerek aspal -- biar palsu, asal bermerek.
Suatu hari saat minum kopi di sebuah mal di Jakarta Selatan, Ida menyatakan bahwa bukunya adalah kumpulan kisah sehari-hari yang sangat biasa. Saya setuju.Cerita sehari-hari yang dikemas dalam bahasa yang apik, menjadi sebuah kisah yang menarik dan menyegarkan.
Ia menambahkan, "aku" dalam cerpennya bisa siapa saja. "Bisa aku, kamu...ya siapa saja," katanya. Kalau yang ini, saya tak sependapat (sorry Ida!). "Aku" dalam cerpen itu bagi saya, tetap Ida, yang menceritakan tentang apa yang terjadi di sekitarnya. Melalui Soun, Farah, Laetitia, Daniella, dan tokoh lainnya, Ida bertutur tentang keberanian, kearifan, ketegaran, dan bangkit dari keterpurukan. Juga tentang kompleksitas tinggal dalam lingkungan yang multietnik. Bak fotografer, tak ada momen "indah" yang luput dari catatan Ida.
Saat menuliskan ini, saya baru separo melahap isi buku itu. Tak sabar segera sampai ke halaman 243, halaman terakhir bukunya. Sungguh gurih dan renyah! Saya bahkan lupa akan sakit saya.
0
comments
Posted in
Labels:
blog
Kan bisa membaca atau yang lain? Tidak buat saya. Membaca bagi saya, selalu butuh konsentrasi ekstra (karena pikiran yang suka kemana-mana). Tak mungkinlah saya membaca di hiruk-pikuk penumpang busway, atau angkot yang kalau malam lampunya remang-remang. Atau, diperhatikan orang di sekitar (ge-er jaya :D)
Dengan hook dan benang, beda cerita. Saya bisa konsentrasi dimanapun, kapanpun, dalam kondisi apapun, di samping siapapun (hehehehehe). Di samping suami yang tengah konsentrasi menyetir mencari celah di kemacetan Jakarta, di sela break upload kerjaan di kantor (konon di depan komputer tak boleh lebih dari tiga jam non-stop, jadi saya stop sejenak dengan hook di penthouse sambil menikmati sriwing-sriwing angin di depan pantry). Atau, iseng saja, sambil nonton TV.
Saya bisa menyembulkan ujung benang dari saku luar handbag atau ransel andalan, dan crocheting bisa dilakukan sambil berdiri menunggu angkot incaran melintas. Ketika sudah duduk manis -- pojok belakang dekat jendela adalah posisi favorit saya -- kegiatan bisa dilanjutkan. Sembari pak angkot mengumpulkan satu demi satu penumpang lain untuk "menemani" perjalanan saya sampai tujuan.
Ngomong-ngomong soal crochet di angkot, girang betul saat satu hari ketemu crocheter lain yang sudah lebih dulu mojok di tempat favorit saya. Dia tersenyum, saya membalasnya. Ramah ya dia?
"Saya yang tempo hari ngobrol dengan mbak itu lo. Pekan lalu saya ikuti ilmu Mbak, belajar di Youtube. Kini saya bisa membuat granny square sederhana," ujarnya. Aduh, gak nyangka. Saya sangat bahagia. Sumpih!
Jadi kalau nanti di angkot D01 jurusan Ciputat-Kebayoran Lama ada dua perempuan tengah bermain hook dan benang, bisa jadi salah satunya adalah saya ;)