Tuhan selalu punya cara untuk segala sesuatu. Termasuk membaca, hal yang lama saya tinggalkan karena beragam alasan. Apa ya, buku terakhir yang saya baca utuh? Huda Bidadari Cinta Kami, Perahu Kertas (separo saja), Buku Saku Keliling Asia (katam).
Selebihnya, lihat di pojok sana: Selimut Debu masih terbungkus plastik. Anak-Anak Toto Chan (lanjutan Toto Chan-nya Tetsuko Kuroyanagi) sudah terbuka plastiknya tapi cuma kebaca pengatarnya doang. Ada beberapa buku yang dibaca separo-separo, yang kalau mau melanjutkan harus dibaca dari pertama: To Kill a Mockingbird juga A Short History of Tractor in Ukranian (ini novel, bukan buku tentang mesin-mesin pertanian :-p) dan...Teman Empat Musim, kumpulan cerpen Ida Ahdiah.
Dan hari ini, Tuhan membukakan jalan bagi saya yang sok tak punya waktu untuk membaca: dengan sakit. Terbaring, apa yang enak dilakukan selain membaca? Maka Teman Empat Musim, berpindah ke dipan saya.
Dari cerita pertama, Suong Memilih Perayaan, Ida sudah membawa kita menghirup hawa Kanada. Ada 26 cerita lepas tentang kehidupan --sebagian besar tentang kaum migran -- di negeri asal Justin Bieber itu dikupas Ida, detil.
Ida beberapa tahun tinggal di Kanada. Saya lupa kalau saya sedang membaca cerpen, alias cerita pendek, alias cerita fiksi. Semua tokohnya saya pikir adalah orang-orang nyata, orang-orang di sekeliling Ida. Saya seperti tengah membaca diari, atau refleksi, atau apalah namanya.
Dalam buku ini, Ida kerap menyentil kita, kaum perempuan, tanpa menggunakan bahasa "harus begini harus begitu". Dalam Enza Membuat Kami Disandera, misalnya, ia menyentil kita yang demi penampilan dan gaya, mau melakukan apa saja; bersedak-desak di area sale, memburu diskon hingga ke kota yang tiga jam perjalanan lamanya, hingga membeli aneka barang bermerek aspal -- biar palsu, asal bermerek.
Suatu hari saat minum kopi di sebuah mal di Jakarta Selatan, Ida menyatakan bahwa bukunya adalah kumpulan kisah sehari-hari yang sangat biasa. Saya setuju.Cerita sehari-hari yang dikemas dalam bahasa yang apik, menjadi sebuah kisah yang menarik dan menyegarkan.
Ia menambahkan, "aku" dalam cerpennya bisa siapa saja. "Bisa aku, kamu...ya siapa saja," katanya. Kalau yang ini, saya tak sependapat (sorry Ida!). "Aku" dalam cerpen itu bagi saya, tetap Ida, yang menceritakan tentang apa yang terjadi di sekitarnya. Melalui Soun, Farah, Laetitia, Daniella, dan tokoh lainnya, Ida bertutur tentang keberanian, kearifan, ketegaran, dan bangkit dari keterpurukan. Juga tentang kompleksitas tinggal dalam lingkungan yang multietnik. Bak fotografer, tak ada momen "indah" yang luput dari catatan Ida.
Saat menuliskan ini, saya baru separo melahap isi buku itu. Tak sabar segera sampai ke halaman 243, halaman terakhir bukunya. Sungguh gurih dan renyah! Saya bahkan lupa akan sakit saya.
Selebihnya, lihat di pojok sana: Selimut Debu masih terbungkus plastik. Anak-Anak Toto Chan (lanjutan Toto Chan-nya Tetsuko Kuroyanagi) sudah terbuka plastiknya tapi cuma kebaca pengatarnya doang. Ada beberapa buku yang dibaca separo-separo, yang kalau mau melanjutkan harus dibaca dari pertama: To Kill a Mockingbird juga A Short History of Tractor in Ukranian (ini novel, bukan buku tentang mesin-mesin pertanian :-p) dan...Teman Empat Musim, kumpulan cerpen Ida Ahdiah.
Dan hari ini, Tuhan membukakan jalan bagi saya yang sok tak punya waktu untuk membaca: dengan sakit. Terbaring, apa yang enak dilakukan selain membaca? Maka Teman Empat Musim, berpindah ke dipan saya.
Dari cerita pertama, Suong Memilih Perayaan, Ida sudah membawa kita menghirup hawa Kanada. Ada 26 cerita lepas tentang kehidupan --sebagian besar tentang kaum migran -- di negeri asal Justin Bieber itu dikupas Ida, detil.
Ida beberapa tahun tinggal di Kanada. Saya lupa kalau saya sedang membaca cerpen, alias cerita pendek, alias cerita fiksi. Semua tokohnya saya pikir adalah orang-orang nyata, orang-orang di sekeliling Ida. Saya seperti tengah membaca diari, atau refleksi, atau apalah namanya.
Dalam buku ini, Ida kerap menyentil kita, kaum perempuan, tanpa menggunakan bahasa "harus begini harus begitu". Dalam Enza Membuat Kami Disandera, misalnya, ia menyentil kita yang demi penampilan dan gaya, mau melakukan apa saja; bersedak-desak di area sale, memburu diskon hingga ke kota yang tiga jam perjalanan lamanya, hingga membeli aneka barang bermerek aspal -- biar palsu, asal bermerek.
Suatu hari saat minum kopi di sebuah mal di Jakarta Selatan, Ida menyatakan bahwa bukunya adalah kumpulan kisah sehari-hari yang sangat biasa. Saya setuju.Cerita sehari-hari yang dikemas dalam bahasa yang apik, menjadi sebuah kisah yang menarik dan menyegarkan.
Ia menambahkan, "aku" dalam cerpennya bisa siapa saja. "Bisa aku, kamu...ya siapa saja," katanya. Kalau yang ini, saya tak sependapat (sorry Ida!). "Aku" dalam cerpen itu bagi saya, tetap Ida, yang menceritakan tentang apa yang terjadi di sekitarnya. Melalui Soun, Farah, Laetitia, Daniella, dan tokoh lainnya, Ida bertutur tentang keberanian, kearifan, ketegaran, dan bangkit dari keterpurukan. Juga tentang kompleksitas tinggal dalam lingkungan yang multietnik. Bak fotografer, tak ada momen "indah" yang luput dari catatan Ida.
Saat menuliskan ini, saya baru separo melahap isi buku itu. Tak sabar segera sampai ke halaman 243, halaman terakhir bukunya. Sungguh gurih dan renyah! Saya bahkan lupa akan sakit saya.