|
Foto dicomot dari http://www.cuorhome.net/heart-images/shopping/buy-handmade/dd caption |
Lega...setelah memutuskan untuk mengembalikan satu dari dua 'orderan' dari seseorang yang saya duga tak mengetahui cara menghargai handmade.
Ceritanya, seorang ibu menghubungi saya via Facebook, karena tertarik dengan salah satu kreasi saya. dalam foto yang dia taksir, saya menghias baju batsleeve dari kain sutra Thailand (koleksi saya sebelum insyaf berbangga membeli produk impor) dengan edging rajutan. Sebelum blio, saya sudah mengerjakan sekitar 15 sampai 20 pesanan, dengan motif edging yang berbeda. Aman-aman saja. Saya puas karena mereka puas dan mengirimkan foto mereka bergaya dengan baju buatan saya.
Ternyata oh ternyata, sang ibu tinggal tak jauh dari rumah saya. "Saya antar sendiri aja," ujarnya, setelah tahu kami tinggal di kompleks yang sama.
Dia membawa sendiri dua baju dari bahan organdi, dan minta diberi edging rajutan. Gaun pesta. Warnanya tak pasaran. Bisa dipastikan, harganya di atas Rp 50 ribu (bawang merah sekilo masih di atas itu).
Begitu ada di tangan saya, hari-hari saya serasa 'diintimidasi'. Beberapa hari sekali, blio mengecek apakah sudah digarap atau belum, padahal sebelumnya saya sudah menegaskan antrean masih panjang, karena saya mengerjakan semua sendiri, dengan tangan dan jemari lentik (ngaku-ngaku lagi, he he) saya.
Akhirnya, selesailah satu, dan sayapun 'melaporkan'-nya. Blio minta perincian 'ongkos'-nya (jadi inget, suka baca tulisan "terima ongkos bubut", apa maksudnya ya?). Saya pun merinci: karena kainnya bagus, tentu akan kebanting kalau saya menggunakan benang katun bali yang ukurannya agak gendut dibanding serat kainnya. Maka saya pilih menggunakan katun halus yang harga pergulungnya Rp 25 ribu (tempo hari waktu beli benang yang sama di toko craft di Living World Alam Sutra pergulung harganya malah Rp 85 ribu). Sesuai saran beberapa parajut profesional
tentang penentuan harga, saya menganut paham yang untuk satu gulung benang saya memasang ongkos Rp 35 ribu. Jadilah perbaju Rp 60 ribu, dan dua baju Rp 120 ribu.
"Dilempengin aja ya Mbak, jadi Rp 100 ribu," ujar ibu jelita bak pragawati itu. Gedubrag, gerobag! Cetar membahana badai sebenar-benarnya badai!
Karena dia menelepon selalu, saya berasumsi dia hendak buru-buru mengenakannya, maka saya mendahulukannya dari yang lain. Saya menggarap ending sepanjang 6 meter dari baju model "Syahrini" itu secara maraton sejak pukul 17.00 sampai mundur pukul 02.00 hanya demi bisa dipakai blio buat kondangan hari ini. Saya juga memilihkan motif rajut yang pas, demi mendukung kesan "wah" baju itu.
Dan kini, blio menawar karya saya itu lebih murah dari sekilo bawang?
Baik, mari kita bersikap. Mari kita packing dengan apik dan masukkan ke tas yang juga apik. Mari kita antar ke rumahnya dengan cara yang apik (bojo tercinta segera men-starter si Putih untuk mengantarkan istrinya si 'tukang' jahit dan rajut ini :D ), bukan diambil seperti mau blio. Mari kita serahkan dengan cara yang apik. Semuanya, dua baju.
Saya tak sanggup mengerjakan baju yang satunya, yang sudah saya pesankan benang viscose dari Surabaya, di toko online langganan saya. Saya memilih mengembalikan. Bukan karena saya tak mampu, tapi saya tak sanggup. Saya bukan tukangnya, dan bukan tukang sayur langganannya. Saya tak pernah tawar-menawar dengan karya saya, karena semua saya pikir sudah saya beri harga secara sepadan.
Ketika blio menawarkan "ongkos", saya menolak dan hanya bilang, "Jika sempat, transfer saja ke rekening saya, ibu. Kapan sesempatnya ibu saja."
Sekian, dan terima orderan kasih :D