Apakah menjahit itu bakat, atau keterampilan yang bisa dipelajari, atau
diturunkan secara genetik (rada ngawur inih)?
Semula, saya menduga
diturunkan secara genetik. Berdasar wawancara singkat dengan ibu, mbah
putri, dan cerita mbah putri tentang ibu dan nenek blio, mereka mengaku
tak pernah belajar menjahit. Otodidak. Mbah memang pernah mendapat ilmu
itu di Sekolah Kartini (Sekolah Keputrian), tapi jauh sebelum itu, blio
sudah mahir membuat kutang sendiri begitu memasuki usia baligh. Saya dapat ilmu mengoreksi beberapa kesalahan jahit dari blio.
Namun, teori itu tumbang
ketika Indah, adik saya tercinta, sangat lugu (bin culun) berhadapan
dengan jarum dan benang. Jangankan membuat baju, men-soom baju anaknya
yang kelimannya lepas saja yang keluar adalah jurus tusuk jelujur. Walhasil,
jadilah jejak mirip separator jalan nemplok di baju. Kalau sepersekian gen jahit
diturunkan, tak usahlah bikin baju Cinderella, paling gak masang kancing
pasti bisalah. Ini boro-boro.
Maka, teori kebisaan (?) menjahit adalah diturunkan secara genetik secara otomatis tumbang dengan fakta ini.
Kini, tinggal dua teori tentang jahit yang saya
yakini benar: otodidak, dan keterampilan yang bisa dipelajari. Teman
saya (tak usah sebut nama ya?) jebolan perguruan tinggi ternama dengan indeks prestasi mendekati cum-laude (malangnya: dia sekantor dengan saya yang lulus
dengan nilai ala kadarnya!) tiba-tiba punya keinginan gila: kursus
menjahit. Padahal, jangankan berkencan dengan mesin jahit, bahwa jarum mesin dan jarum
tangan itu beda saja dia baru tahu belakangan di tempat kursusnya.
Dari
yang paling dasar, kini dia sudah piawai bikin baju, celana, dan piyama
untuk suaminya. Bahkan makin hari makin menggila: menguasai aneka
ilmu pecah pola. Ck ck ck!
Saya sampai terkagum-kagum dan ngiler ingin
ikut kursus pula. Selama ini, saya menguasai ilmu perjahitan (what?!)
secara otodidak. Tepatnya sejak kelas 5 SD, saat ibu menghadiahi Siti Nurbaya.
Pecah pola, dilakukan secara trial and error. (Jadi ingat: ilmu membuat kantong
bobok didapat atas kerja sama dengan kakak lelaki saya yang jago matematika dan jago menjahit. Kami merancang pola dan dia mengukur dengan ukuran yang teliti dan cermat dengan penggaris
dan busur. "Beda 2 mili, beda hasilnya," sabdanya. Saya manggut-manggut saja, percaya).
Lalu kenapa
tiba-tiba ingin kursus? Panjang ceritanya. Tepatnya sejak membuka lapak di Etsy dan lalu Facebook. Makin meruncing setelah seorang
pelanggan baru yang 'berbobot' memesan baju ukuran XXXL.
Curcol dikit: saya tak
tega menolak kesungguhannya memesan. Lebih dari itu, saya merasa terhormat blio berkenan memesan karya saya. Akhirnya saya sanggupi. Pola saya modifikasi sendiri tanpa ukuran pasti, hanya berpatokan pada lebar pundak, lingkar dada, pinggang, dan panggul yang dia berikan. Saya tak bisa membuat pola sesuai teori-teori yang diberikan di kursus jahit, jadi, saya buat dengan dasar pola ukuran saya, yang juga dibuat secara asal (tapi enak dipakai lho).
Jadi, besok adalah pertaruhannya. Kalau setelah baju terkirim dan dia cocok, artinya penjahit otodidak ini harus mikir ulang ikut kursus atau tidak. Tapi kalau ternyata blio tak puas dengan hasilnya, maka tak ada tawar-menawar: KUDU MENDAFTAR KURSUS SEGERA!!!!!!!!
Menyulap ukuran L jadi XXXL