twitter



Mbak Rayem perempuan perkasa. Dia menjadi mitra sejajar Pendi, suaminya, yang berprofesi sebagai handyman. Dua belas tahun mereka mengarungi biduk rumah tangga berdua.

Mengapa dia perempuan perkasa? Tak perlu berkoar tentang emansipasi, dia pejuang emansipasi sejati. Saat suaminya banting tulang mencari uang untuk menafkahi keluarga, dia tak tinggal diam. Dia menjadi pekerja rumah tangga penuh waktu delapan jam sehari (di rumah saya, sodara) dan part time di sebuah keluarga lainnya.

Bersama suaminya, dia berbagi peran. Ketika pagi dia meninggalkan rumah sebelum sempat membuat sarapan pagi, maka suaminya yang akan menyiapkannya. Begitu juga malam hari ketika saya telat pulang dan dia terpaksa kerja lembur menunggui anak-anak saya. (Kerja lembur = kerja di luar jam dia seharusnya. Kompensasinya, saya harus memberinya uang lembur).

Seharian di rumah kemarin, saya menjadi bak wartawan infotainment yang menguntit aktivitas sang idola seharian. Berikut ini laporan saiyah untuk pemirsah semua:

Pukul 07.00

Membuka pintu depan dengan kunci cadangan, bergegas ke belakang. Pagi ini dia memasak bakwan, sayur labu dan ikan. "Kopi di luar, bu!" teriaknya. Secepat kilat dia sudah menghilang saat saya mengambil kopi racikannya yang rasanya bak kopi bikinan barista ternama. Kemana dia? Pergi ke rumah satunya, tempat dia kerja part time, untuk hanya mencuci dan menyetrika, serta beres-beres rumah.

Pukul 09.30

"Bu, cucian kotor tolong dikeluarkan," ujarnya dari balik pintu kamar. Saya, yang sedang asyik merekap pesanan dari olshop saya, kaget, karena tak mendengar kapan dia masuk rumah. Asal tahu saja (pamer?) pintu depan saya pasang miniatur lonceng pedati, sehingga saat pintu dibuka dan ditutup, gemerincing lonceng nyaring terdengar (kayak di warung-warung Amrik di film Hollywood tempo doeloe). "Masuk aja Mbak. Ayah udah berangkat kok," kata saya. Dia masuk, sambil menceritakan hal-hal yang terjadi kemarin: tentang suaminya, Harini, dan tentang tukang sayur yang dia duga salah pasang harga. "Mosok labu satu tiga rebu," ujarnya.

Pukul 11.00

Sudah menyelesaikan acara cuci-mencuci dan mengepel lantai. Juga membereskan rumah yang tadinya bak kapal pecah menjadi rapi jali. "Menyetrika besok aja, sekalian ya bu," ujarnya. Sebelum pamit pulang untuk menyambut anaknya pulang sekolah.

Saya memintanya nanti jam 13.00 bersiap-siap di depan rumah kontrakannya. "Mau kemana?" tanyanya.

"Kita jalan. Namanya refreshing. Biar pikiran terang," ujar saya sekenanya.

"Hayuk. Biar sariawan di lidah segunung, kalau acaranya jalan-jalan mah, hayuk bae," katanya bersemangat. Saya ikut bersemangat. Horee....ini yang namanya girls outing sodara!

Pukul 13.00

Hang out bersama Harini dan saya ke mal terdekat. Sekalian mengirim paket-paket pesanan. Yang ini saya ceritakan besok ya, asyik soalnya!


Pukul 17.00

"Astaga, Ibu! Ngamuk atau bagaimana? Kamar sudah diberesin berantakan lagi!" ujarnya. Saya nyengir saja. Kalap menyelesaikan pesanan yang harus kirim sore ini, membuat seluruh peralatan tempur turun main. Berantakan!

"Mbak dilarang masuk," giliran saya setengah teriak pula, sambil ngakak. Di luar Mbak Rayem masih ngomel-ceria (alias bukan ngomel betulan), "Ibu kerjanya cuma berantakin aja. Ngerjain saya nih, ibu."

Saya membereskan, sambil bilang, "Pokoknya hari ini aku beresin Mbak. Kalau besok masih ada yang berantakan, itu sengaja. Biar Mbak Rayem ada bahan ngomel besok." Haha...jailin doi.

Pukul 17.30

Berkemas pulang. "Cabut rumput belakang besok saja, akhir pekan," katanya. Aku mengiyakan saja. Akhir pekan, artinya dia akan mengerahkan para sohibnya yang mengontrak rumah petak milik orang yang sama. Setelah itu, biasanya mereka akan bersama-sama ke pasar kaget di dekat rumah, menghabiskan uang tips cabut rumput untuk "wisata kuliner" bersama.

Mbak Rayem, perempuan perkasa itu, sebenarnya adalah guru saya: dia mengajarkan saya untuk menjalani hidup apa adanya. Bahwa bahagia bisa diraih dengan cara-cara yang sederhana.

0 comments:

Post a Comment

Komentar Teman: