twitter


Alhamdulillah, buku yang merangkum tulisan saya selama meliput perhelatan haji sepanjang Oktober-Desember 2009 lalu selesai dicetak. Pekan depan, kata penerbit, mulai dipasarkan di toko buku, antara lain Gramedia. Bahagia.

Walau menulisnya, tak se-"berdarah-darah" buku sebelumnya. Buku sebelumnya -- saya hanya menjadi satu di antara 15-an penulis -- dibuat dengan seember keringat dan air mata (biar dramatik!). Bayangkan saja, untuk menulis 1.500 kata itu, saya harus melakukan investigasi selama 1,5 bulan ke beberapa lembaga. Dengan naskah yang bolak-balik bak setrikaan dari saya ke editor yang adalah pemberi hibah liputan investigasi itu.

Buku saya kali ini, hanya semacam klipping tulisan saja. Saya hanya perlu menambahkan 10 judul tulisan baru. Diambil dari jurnal harian saya yang muncul di rubrik "Kabar dari Tanah Suci" di Harian Republika setiap hari sepanjang Oktober-Noverber 2009.

Kata redakturnya sih, ratting-nya bagus. Pernah karena saya kelelahan dan sempat absen menulis, kata dia, pembaca banyak yang komplain ("ah, masa segitunya sih," kata saya. Sama seperti Anda, saya menduga ini "rayuan pulau kelapa" model usang sang redaktur biar anak buahnya semangat menulis! *grrhhh kreatif dong bang, kreatif*).

Begitu pulang, penerbit menawar tulisan-tulisan itu. Sebulan kemudian, jadilah buku berjudul Tolong Panggil Nama Saya  yang diambil dari salah satu judul tulisan saya. Saya sih berharap buku ini bermanfaat bagi yang membacanya. Itu saja.

Berikut petikan tulisan dari penerbitnya, yang saya copy-paste dari group di fesbuk mereka.






Ketika jamaah menyaksikan Kabah tepat berada di depan mata mereka, kata-kata tak lagi cukup untuk menggambarkan "perjumpaan" Allah dan umatnya itu. Kisah perjuangan Nabi Ibrahim as, Nabi Ismail as, dan Siti Hajar segera terbayang. Ibadah Haji adalah ritual untuk menapak tilas dan memperingati kebesaran mereka. Berhaji adalah perjalanan pulang ke rumah Sang Pemilik Sifat-Sifat Maha tak Terbilang.



Tengok saja tulisan yang diberi judul Tolong Panggil Saya, Kabahnya di Sebelah Mana?, Mandi Hujan di Masjidil Haram, Bandara Jeddah? Capek Deh, Naik Omprengan dari Masjidil Haram, Hang Out di "Negeri Kaum Pria", Berinternet dari Kandang Unta dan Merpati Makkah. Tulisan-tulisan itu menggambarkan betapa ibadah haji memang penuh warna, baik fisik maupun rohani. Dan kita selalu ingin kembali mengunjungi "Rumah" Allah.



Sebuah buku yang segar dan menggugah.




Tolong Panggil Nama Saya : Serpihan Catatan Perjalanan Haji / Siwi Tri Puji Budiwiyati

Penerbit Republika, 2010. vi + 194 hlm. 20.5 x 13.5 cm

ISBN : 978-979-1102-79-7

Harga : Rp 40.000,-


PS. Kalau berminat, bisa pesan via saya dengan harga sama, bebas ongkos kirim *buka lapak*


Akhir pekan adalah waktu untuk anak-anak. Ini "hukum" yang telah enam tahun ini kami anut dengan patuh. Jadi kalau ada kerjaan di akhir pekan, maka "bedol desa" seisi rumah. Kecuali, benar-benar khusus dan harus berangkat sendiri.

Hari ini, sedianya mau datang ke acara ngumpul teman-teman. Tapi urung. Sorenya, Jose kebagian piket (ronda kali ya....) di kantornya. Artinya, dia akan mengawal kerjaan sampai naskah terakhir naik cetak. Hmmm.

Aku punya beberapa rencana untuk itu:

Plan A ---- Begitu sampai di kantornya, langsung ngajak anak-anak ke Istora nonton pameran buku. Sambil ngintip-ngintip siapa tahu bukuku sudah beredar. Terus jalan ke Plaza Senayan. "Makan sushi!" kakak teriak. Oke, aku mencatatnya di plan A


Plan B ---- sesampai di kantor Jose, tetep ke pameran buku, tapi pulangnya ke halte busway. Nyobain semua rute busway, sambil singgah di tempat-tempat yang "layak singgah" misal: museum gajah. museum uang. kepala gading, mampir ke tempat sahabat lama zaman SMP-SMA yang beberapa rumahnya berserakan di sana.

Plan C ---- Ke tempat sahabat yang belum setahun ditinggal pergi selamanya oleh suaminya. Anak-anaknya dan anak-anakku sudah kayak kakak adik. Bahkan anak keduanya yang baru kelas 3 SD menulis di buku data siswa begini: jumlah saudara kandung: satu, namanya: Mas Alif Jihad Rais. Jumlah saudara tiri: satu, namanya: Fatiha. Huahahaha....sejak kapan almarhum ayahnya nikah siri dengan dirikyu??? (anak-anak kerap...lucu....)

Tapi baik Plan A, B, C gagal kabeh. Tiba-tiba teman twitter-nya datang bertamu dan anakku memutuskan untuk tak jadi pergi. Ayahnya, manyun jaya berangkat sendiri, karena emaknya tentu lebih memilih bersama anak-anak.

Baru setelah teman-teman twitter-nya pulang, dia nyesel: kenapa gak ikut ayah saja ya? Lalu ngajak jalan. Emaknya menggeleng. Kadung PW nyabutin rumput dan berkebun.

Sorenya, bikin rencana baru, Plan D (waks!). Apa itu? Mindahin Pi**a H*t, rumah makan pizza, ke rumah. Kali ini, sukses terselenggara. Anak-anak dan emaknya "menderita" kepuasan. Malam minggu gak harus pergi kan? Di rumah, juga banyak yang bisa dinikmati!

Ini menu utamanya. Bikin sendiri dengan nyontek buku resep tentu saja.



Ini temannya pizza. Kreasi sendiri. Roti gandum dibakar, dioles dressing salad, terus tengahnya ditaruh kulit goreng, baru dilipat. Mau bikin brucetta, tapi rotinya kagak ada soalnya.



Ini spageti std alias standar. Toppingnya saja yang diperkaya dengan jamur dan teman-temannya. Kalau gak dibikin begitu, si kakak susah banget makan sayur....


Ini chef-nya. Parah Quinn, eh Queen Parah. Hahahaha.....







Banyak manfaat crafting, antara lain menenangkan pikiran. Selain itu, juga mampu untuk mengusir pikiran ingin bunuh diri. Gak percaya? Simak aja di sini:

http://www.republika.co.id/berita/106187/napi-kelas-kakap-inggris-diajari-menyulam


Saya sedang membaca Perahu Kertas, novel yang ditulis selama 55 hari oleh Dee aka Dewi Lestari. Saya agak tertarik dengan penulis favorit bojo saya saat secara kebetulan, mengekor dia mengantar sahabatnya, seorang sastrawati Bali, yang akan baca puisi di ajang -- apa ya, kok jadi lupa saya? -- di Salihara. Salah satu penampil selain dia adalah Dee.

Saya telat menyadari novel terakhir Dee, Perahu Kertas, sudah beredar di pasaran (kemana saja ya, saya selama ini???). Saya memergokinya teronggok manis di front depan Gramedia Pejaten Vilage. Saya agak menahan diri untuk membelinya -- sesuai tekad saya "diet" kartu kredit di bulan Februari -- dan baru membelinya pekan lalu di bulan Maret, awal bulan selagi "amunisi" masih tebal, di Gramedia Teras Kota BSD.

Tak seperti promosinya, saya kok membaca karya Dee yang terakhir ini tidak segurih karya-karya sebelumnya ya? Kurang cermat kalau menurut saya. Tidak seperti saat menulis Filosofi Kopi yang mengalir dan detil.

Contoh kecil saja, di awal tulisan, di bab ketika Kugy menjemput Keenan bersama sahabatnya dan Eko, pacar sang sahabat. Hari gini gitu loh, mencari orang di stasiun kok susah amat. Ada ponsel kan???? Kenapa gak ditelepon saja, toh dari awal cerita -- kendati dia bilang Perahu Kertas sempat mati suri bertahun-tahun -- ada dialog yang menyinggung-singgung soal ponsel (walau saya yakin, saat Dee mulai menulis Perahu Kertas, era ponsel belum seheboh sekarang, ini yang membuat Perahu Kertas banyak "bolong"-nya...).

Kenapa Kugy harus repot-repot nyolong mikrofon petugas KA hanya untuk mencari Keenan. Apa susahnya dengan: Eko menelepon ortunya untuk meminta telepon Keenan, kalau dia lupa?

Itu satu.

Kedua, Jakarta-Bandung, ribet banget naik kereta yak? Pakai travel aja mas, dua jam nyampe dan gampang pula menjemputnya.

Atau mestinya Dee lebih cermat lagi: di awal kisah disebutkan, kalau novel ini settingnya tahun 1990-an saat era ponsel belum mendominasi seperti sekarang, belum ada tol Cipularang yang menyingkat jarak Jakarta-Bandung hingga sedemikian dekat, dan kereta api masih menjadi satu-satunya andalan dengan jam kedatangan yang angin-anginan.

Ih...nyinyir banget ya, saya. Padahal belum kelar membacanya. Mesti "saingan" dengan proyek bikin bantal duduk dengan lukisan Adek pula. Lanjut dulu ah...



Flashdisk terlalu imut. Lupa naruh, perlu berhari-hari menemukannya. Maka satu pesan kakak: bikinin gantungan yang mencolok warnanya dan gampang menemukan kalau kelupaan :)) Saking cintanya ;-)) maka sepulang kerja masih dengan baju tadi pagi yang bau parfumnya sudah ganti jadi apek, emaknya memainkan benang dan jarum: Dilipat dua saja. Satu sisinya dipasang hiasan. Sudah dipasang mata dan telinga. Tinggal hidung. Tadinya mau bikin kucing, tapi berubah pikiran; mending beruang atau babi ya? Akhirnya bikin babi aja. Tapi kadung bikin kumis untuk kucing. Gak papa deh, babi berkumis.... Kalau dipelihara, boleh kan? Dan, si Babi pun menggantung di Flashdisk. kalau mau disimpan, tinggal dimasukkan ke sisi yang tidak dijahit.


Itu kata suami kalau mengomentari "Hobi Bete" saya. Hobi bete? Ya. kalau lagi males melakukan apapun, biasanya suka "iseng-melakukan-hal-tak-berguna-buang-buang-waktu-saja". Salah satunya, motret. Kali ini, motret pakai kamera VGA hape zaman antah-berantah yang masih oke dipakai. Zaman belum ada HP berkamera megapixel pokoknya. Begini hasilnya:





 
Ini kotak harta karun yang nyelempit di samping lemari pakaian. Isinya mulai dari pernik-pernik benda kenangan sampai aneka kabel untuk koneksi internet. Kotak nomor tiga dari bawah bikinan teman, handmade. Lucu banget (**Kusangat suka**)

 
Ini gantungan tas-tas yang biasa dipakai sehari-hari. Tiga paling depan yang paling saya suka. Dua handmade, satunya -- warna coklat kelihatan separo -- hasil "mengakuisisi" punya teman yang tiba-tiba merasa tas barunya terlalu besar (sementara badannya kurus lencir, "Kebanting gw," katanya!).



Bukan promosi lho. Ini peralatan "ngadi saliro" yang nemu tak sengaja saat di Jeddah tempo hari. Seneng banget, karena ingredient-nya lucu, dari buah dan sayur, alami. Jadi ada scrub gandum dan sabun mentimun, misalnya. Di sana sih harganya murah. Ketika cek harga di Jakarta, ternyata berlipat. Kayaknya begitu habis, kembali ke merek asal deh....


 
Haaaaaaaaaa.....ini kaki bojo ganteng yang sedang sibuk dengan pe-er akhir pekannya. Ho..ho...ternyata ada dua "paku" besar di kakinya. Di lantai pojok...apa itu? Gak rapi banget sih, istrinya...hahahahaha....