twitter





Awalnya, Adek menggambar monster itu di atas kertas. Saya memindahkannya ke kain, dengan bantuan kertas karbon. Jadilah monster yang menemaninya ke sekolah tiap hari....


Tepatnya, bukan menjahit kemeja, tapi menyulap kemeja ayah jadi baju ibu.
Asalnya, kemeja ini adalah lengan pendek. Motifnya batik Banjarmasin, lebih populer disebut sesirangan. Dibeli sepulang liputan dari pedalaman Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Tentu saja, buat suami tersayang :)

Delapan tahun kemudian, kemeja ayah menyerah dimakan usia. Tepatnya, bagian kerah ancur duluan. Dipensiunkan? Sayang. Berdasar pengalaman me-recycle dress untuk daster kakak, dan menyulap pasmina jadi baju, kenapa tidak ilmu yang sama diterapkan dalam baju ini?
Jadi, mari kita sulap saja jadi baju ibu. Simsalabim! Adakadabra!

1. Pertama, mari kita merancang cara. Skenario saya, bahu hingga sebatas lengan kita pangkas habis. Digunting miring, membentuk sudut 45 derajat. Gambar di bawah, garis putus-putus adalah jalur guntingnya. Kira-kira begini gambarannya:



2. Langsung eksekusi saja deh. bagian bawah kerah belakang juga digunting, segaris dengan jahitan kerah terbawah saja.


3. Cari bahan lain yang senada, lipat jadi dua, dan gunting miring. Jadikan potongan baju hingga bawah ketiak (poin nomor 1) sebagai pattern. Karena saya menyulapnya menjadi lengan panjang, maka panjangkan seukuran panjang tangan. Jahit kedua sisinya, rapikan jahitannya.



Untuk merapikan bagian leher, kita bisa memasang kerah tegak, atau dirapikan dengan menutupnya dengan 'list' di atasnya. Karena saya sedang malas, maka cara kedua yang saya pilih, dengan pertimbangan lebih cepat rampung :)


Jadi, beginilah tampang baju ayah sekarang, yang sudah ganti kelamin jadi baju ibu:




"Menyiapkan diri menjelang pensiun ya Mbak?" komentar seorang teman, tentang saya yang belakangan tekun belajar crocheting, atau kita kerap menyebutnya merajut. (Catat: usia saya masih jauh dari usia pensiun!)

Saya tak kaget. Komentarnya adalah yang ke-1001 yang saya dengar. Bahkan, jauh sebelum saya belajar merajut pun, saya sudah mendengarnya. Mungkin di lubuh hati terdalam, sedikit membenarkan.

Saya berkenalan dengan rajut merajut pertama kali 30 tahun silam. Saat itu, nenek jauh ibu saya yang istri pensiunan camat (Mbah Sisten, demikian orang memanggil, berdasar jabatan suaminya sebagai 'asisten', camat di zaman Belanda) mempunyai klub crochet. Anggotanya, lima nenek yang sama-sama sepuh.

Berkala, mereka ngumpul di rumah Mbah Uyut Sisten, biasanya sore hari, sambil mengudap camilan yang disiapkan Mbak Uyut dari siang. Sambil mengobrol, tangan mereka sibuk mBrenthel, merenda alias merajut alias crocheting. Jeda sesekali untuk main bridge, kemudian merajut lagi.

Saya, menonton dengan takjub. Pulang ke rumah, mencari hakpen ibu saya, membuat rantai. Titik. Dari zaman jebod sampai 1,5 tahun lalu, saya hanya bisa 'merantai' saja.

Hingga suatu hari, saya 'lost in Blok M'. Tepatnya, terlalu dini menjemput teman di pool Damri Blok M, padahal pesawatnya dari Makassar delay 2 jam.

Merintang waktu, saya muter Blok M, sampai kemudian parkir di sebuah toko alat-alat crafting. Mata tertuju pada hakpen, dan memori masa silam terputar. Saya memutuskan membeli 'memori' itu.

Di rumah, saya belajar giat. Membuka Youtube, kembali belajar crocheting. Sampai kemudian mata terbuka, bahwa di luar sana, banyak pula orang yang sama jatuh cintanya pada crochet seperti saya, dan rata-rata berusia belia. Beberapa kali, saya menemukan bukan nenek-nenek di angkutan umum dan kami menekuni  hobi yang sama, seperti pernah saya ceritakan di postingan saya sebelumnya.

Hingga tak sadar, kini puluhan teman saya di Facebook adalah penyuka crochet, tanpa kami saling kenal satu sama lain sebelumnya. Bahkan hingga kini, banyak di antaranya yang kami belum pernah bersua. Kami mengobrol apa saja, mulai teknik crocheting, membaca pola, hingga menentukan harga jika ada yang berminat dengan karya kita, hal yang paling membuat saya kagok :)

Jadi, menjawab komentar teman saya tadi, saya menjawab setengah bercanda dengan merujuk pada teman-teman belia saya yang sama-sama belajar crocheting, begini, "Begitulah...entah saya yang terlambat belajar, atau teman-teman saya itu yang terlalu awal menyiapkan masa pensiunannya." Asal tahu saja, teman-teman yang belajar crochet bersama saya rata-rata usianya 20-an tahun!



Ini adalah bolero yang saya pajang di toko ini, juga di Etsy. Asalnya, adalah satu stoples granny square yang dibuat secara iseng oleh Mbak Rayem. Dia mengerjakannya sambil menonton sinetron favoritnya di televisi. Tak terasa, satu stoples penuh dia buat.

Dibikin apa ya? Dia mengusulkan vest yang seperti saya buat untuk kakak tempo hari. Again???? No!

Kami kemudian berdiskusi, dan ketemulah ide ini: bolero warna-warni. Sampai di sini, Mbak Rayem menyerah.

Maka, dengan benang sembur, saya rangkai jadi satu. pola belakangnya 30 granny square, depannya, sama, hanya dikurangi untuk bagian ketiak dan depan. Dalam sehari, jadi. Belum juga sepekan, sudah ada yang membeli. Alhamdulillah.

Saya dan Mbak Rayem, sama-sama puas....*blogging sambil nunggu transferan dari sang pembeli*



Setelah menjadi pengagum Etsy sejak 2008, akhirnya saya beranikan diri buka lapak di situs khusus jual beli handmade ini. Warung saya beralamat di sini.

Bukan apa-apa. meski mertua saya Padang, yang notabene terkenal sebagai perantau dan pebisnis, saya tak pandai berdagang. Sekadar menawarkan sprei atau kerudung sama teman sekantor sekalipun, tak mampu :)

Padahal, kata suami saya, akan lebih bagus jika karya craft yang saya buat dijual juga....(ampyun bang....tobat...!) Setelah saya pikir-pikir, ada benarnya juga. Selain jadi lebih giat berkreasi, juga menghasilkan uang yang bukan dari kantong dia atau kantong kantor saya.

Baru dua item sih yang saya pajang. Semoga berkah. Owya... hasil penjualan tentu harus dibagi dengan Mbak Rayem yang juga jadi ikut semangat membuat Granny Square....


 




Sahabat saya, Ara, memberi hadiah spesial sepulang 2 tahun menimba ilmu di Australia. Boneka petani, dari benang wol, knitting. Cantik betul menurut saya. Pembuatnya sangat cermat, dan nyeni. Ada tikus kecil di kakinya, burung di bahunya.

Tapi bukan hanya bentuknya yang membuat saya takjub. Tapi juga cara Ara mendapatkannya.

Ia berkisah, suatu hari di Adelaide,  diselenggarakan pameran bagi para crafter terbesar di negeri itu. Matanya tertuju pada boneka itu. "Aku langsung ingat dirimu," katanya. Ia berniat membelinya. Namun, ketika ditanyakan, sang crafter menyebut boneka itu hanya untuk pameran, bukan untuk dijual.

Segala jurus yang dikeluarkan Ara untuk merayu agar dia melepaskan bonekanya, tak juga mempan. Termasuk iming-iming 'ganti rugi' yang menjanjikan. Alih-alih tergiur, dia malah bertanya mengapa Ara begitu ngotot ingin membeli boneka buatannya.

"Saya punya teman crafter, dan tengah belajar merajut. Pasti akan sangat bahagia jika aku memberikan boneka itu padanya," Ara menceritakan.

Tak diduga, sang pembuat boneka itu segera membungkus boneka itu dan mengulurkannya pada Ara. Sahabat saya ini segera merogoh kocek di dompetnya, namun buru-buru ditolaknya. "Aku memberikan ini buat sahabatmu, bukan untuk dijual. Sampaikan salamku padanya," katanya.

Maka, boneka petani itu kini jadi boneka kebanggaan kakak. Juga saya, ibunya; pecinta craft yang - betul - sedang belajar merenda.

Saya berharap, Paman Google segera mengindeks foto saya, kemudian memajangnya di search gambar. Agar suatu saat sang pembuat menemukannya, dia akan tahu bahwa saya sangat berterima kasih padanya, dan karyanya sungguh mengilhami saya untuk belajar lebih giat :)


Pernah mempunyai furnitur usang yang sudah: jelek, kusam, ketinggagalan zaman, memperburuk ruangan jika tetap di pajang, malu-maluin -- pokoknya gitu, deh -- tapi sayang untuk dibuang? Saya pernah.

Membuangnya, bukan jalan keluar. Apalagi, benda itu adalah amat sangat bersejarah (bagi saya). Itulah furnitur pertama yang saya punya, dibeli beberapa bulan setelah menikah. Harganya hanya Rp 450 ribu saat itu.

Yang membuatnya bersejarah adalah: ayah anak saya membelinya sore hari saat hujan lebat, dan pak penjualnya kuyup sementara kursi rotannya belum ada yang melirik seharian.

Kini, 14 tahun kemudian, Anda bisa membayangkan seperti apa bentuknya. Apalagi, kualitas rotan yang digunakan bukan kualitas rotan terbagus. Tapi mau dibuang, ya itu tadi: sayang.

Maka, akhir pekan kemarin, suami berbaik hati (halah....dia memang selalu siap mengantar kemanapun ding) mengantarkan saya ke toko tenun ikat di Kemang. Pilah-pilih, ketemu warna putih (setelah sampai rumah menyesal, kenapa tidak yang coklat saja?). Saya beli lima meter, dengan pertimbangan kursi saya panjangnya 2 meter. Tapi setelah memaksimalkan pemakaian kain, sisa semeteran.

Yang dilakukan, hanya 'membungkus' kursi dengan kain itu, kemudian dijahit. Yang agak repot, adalah memasang sisi sandaran lengan, karena ternyata tak sesederhana bayangan saya semula. Tapi setelah trial and error beberapa kali dengan kertas koran sebagai alat 'uji coba', jadilah semua.

Dijahit tak sampai dua jam, jadilah 'sofa' amatir saya. Tak bagus-bagus amat, tapi lumayanlah, bisa buat nongkrong suami di pagi hari, baca koran sambil sarapan.

Begini metamorfose kursi saya:




Setelah make over:




 
Gambar: Kepala salmon. Dimasak bersama mi instan, 
rasanya jadi spesial


Menulis dengan gaya berbagi cerita ala satu produk mie instan. Halah...

Ind*m** Ibu...selalu Spesial!
------------------------------------------

"Wow...Ind*m** ibu selalu spesial!" begitu teriak dua anakku, tiap kali menyuapkan sendok terakhir Ind*m** masakanku ke mulut mereka.

Aku, seperti biasanya, terkikik sendiri.

Betapa tidak? Dua anakku tak ada yang suka ikan. Berbagai kiat aku lakukan, tapi masakan ikanku, jangankan dicicipi, dilirik pun tidak.

Padahal kurang apa coba? Aku sudah membuatnya menjadi sup ikan, steak ikan, hingga terakhir nugget ikan. Lempeng bae, mereka...dilirik pun kagak.

Suatu hari, aku teringat kegemaran mereka jika akhir pekan kami tak keluar rumah: ind*m** rebus.

Kali ini, aku bereksperimen. Selain mencemplungkan sayur dan telur seperti biasa, aku tambahkan pula 'misi' utamaku, ikan. Kebetulan di kulkas, ada beberapa potong filet ikan sisa membuat masakan buat suami.

Maka, begitu mie mulai melunak, aku masukkan fillet ikan yang sudah kupotong-potong, disusul sayur dan terakhir telur kocok. Aduk sebentar, angkat. Baru kemudian, masukkan bumbu dan bawang goreng.

Hasilnya, selain kuah menjadi lebih gurih, aroma ikan juga membuat In*m** lebih 'provokatif' untuk segera disantap.

Dan benar saja, mereka kemudian menyantapnya dengan lahap, bahkan hingga tetes kuah terakhir.  Kali lain, aku membuatnya dengan variasi ikan yang berbeda; kadang gurame, kadang tuna atau kakap, dan belakangan lebih sering salmon.

Dan, selalu saja teriakan itu terdengar setelah mangkuk mereka kosong dan isinya ludes disikat: "Ind*m** ibu selalu spesial!"

Itu ceritaku, terserah apa ceritamu...xixixixixi..




Awalnya, melihat kain linen selendang sari India yang lebih banyak nganggur ketimbang dipakai. Sayang kan? Maka, melihat meja makan yang merana hanya ditutup kaca -- maksudnya biar ekspos kayu jatinya tetap terlihat -- dan ingin suasana beda, terbetik ide bikin taplak meja. Bikinnya lama, karena ternyata salah baca pola :(

Dimana salahnya? Baru tahu kalau di lengkungan pas di ujung, perlakuannya beda dengan bagian lain. Nah, saya membuatnya sama, semua dibuat seperti di lengkungan. Jadilah lambreta jaya alias kagak rampung-rampung. 

Yang ini juga sebenarnya juga belum rampung. Tapi saya mengeksekusi sepihak dengan memenggokkan arah benang, dan woops, tusuk mati. Rampung sudah. 






 

Ini serbetnya...dibikin duluan biar cepet :)

Powered by Telkomsel BlackBerry®


Tumbuh liar di halaman belakang. Semula dikira rumput. Ternyata oh ternyata: kangkung.

Akhir pekan saat Mbak Rayem libur masak, bahagia rasanya memetiknya, dan siap diolah untuk lunch keluarga.

Murah, meriah, dan ...sehat!
Powered by Telkomsel BlackBerry®


Powered by Telkomsel BlackBerry®


Powered by Telkomsel BlackBerry®


Powered by Telkomsel BlackBerry®


Lama tak pernah menggunakan kata ini, atau menuliskannya. Membuat news untuk media tempat saya bekerja, saya lebih sering menggunakan kata demam dengan tanpa kutip di atasnya.

Keranjingan identik dengan tergila-gila; seperti saya saat ini, pada crochet. Semua bentuk crochet, tiba-tiba menjadi indah di mata saya.Menjadi agak menakutkan, karena mulai tak rasional.

Contoh: order tulisan seorang teman untuk melengkapi bukunya tertunda hampir sebulan, hanya gara-gara penasaran bikin doilies.

Mampir resto kepiting di Comal, Pemalang saat pulang mudik Lebaran lalu, bukannya makan, saya malah kalap lihat tas crochet. Xixixi


Powered by Telkomsel BlackBerry®


Dibuat dengan sisa benang merah. Tengahnya dipermanis dengan kancing putih mutiara. Jadilah bros mawar (atau bunga apa ya? :D) tiga susun, pas dipadankan dengan baju retro polka dot :)
Powered by Telkomsel BlackBerry®


Kain dari bahan linen tipis. Sisa kerudung baju sulam India yang tak pernah dipakai.Pinggirannya menggunakan benang katun putih kecil, direnda dengan hook nomor 2. Pola pinggirannya ada di sini.

Rencananya sih, bagian kain yang lebih lebar akan saya jadikan taplak mejanya. Pinggirannya sama, dengan crochet motif beda, yang lebih lebar tentu saja. Semoga terwujud.

Powered by Telkomsel BlackBerry®




Selalu menarik menonton Meryl Streep dalam film apapun. Menonton Sex and The City II kemarin dan Julie & Julia hari ini di channel yang sama, HBO, makin membuat saya manggut-manggut pada ketepatan saya memilih aktris favorit (tepuk dada...).

Meryl Streep dan Sarah Jessica Parker bak bumi dan langit di mata saya. Meryl Streep menjadi siapa yang diperankannya dalam film. Saat membintangi It's Complicated, beda dengan penampilannya saat membintangi Mamma Mia atau Kramer Vs Kramer, misalnya. Begitu juga dalam Julie & Julia: dia menjadi sosok Julia Child, penulis buku memasak paling sohor di AS (beda dengan Sarah Jessica Parker: dia tetap menjadi Sarah Jessica Parker di film apapun! )

Namun, bukan di sini point yang ingin saya ceritakan. Saya terkagum-kagum dengan kegigihan Julie Powell yang bersungguh-sungguh mempraktikkan resep idolanya, Julia Child, dalam setahun. Semua yang dituangkan Julia dalam bukunya, Mastering the Art of French Cooking, tuntas dipraktikkan dalam 365 hari!

Julie 'menantang' dirinya sendiri untuk mencoba semua yang diajarkan 'suhu' favoritnya itu di dapurnya sendiri. Intinya, asal mau dan berusaha keras, semua bisa dilakukan.

Menarik kali ya, kalau menantang diri untuk menghasilkan satu karya craft untuk kurun waktu tertentu. Paling tidak: tak hanya sekadar melihat gambar di internet, mereka-reka cara membuatnya, dan hanya menumpuk angan belaka.

Mulai pekan ini?


Lima tahun lebih David Lee menekuni pekerjaan sampingan sebagai pemandu wisata. Lulusan strata satu sebuah universitas di Beijing ini menjadi pemandu wisata tiap akhir pekan. Atau bila tamu yang harus diantar berkatagori VIP, ia akan meninggalkan sejenak kantor kecilnya untuk mengantarkan tamu.

Siapa saja yang dilayaninya? Sesuai bahasa asing yang dikuasainya, ia mengantarkan tamu berbahasa Inggris -- kebanyakan dari Amerika Serikat dan Eropa -- serta tamu berbahasa Indonesia. "Hampir tiap pekan ada rombongan dari Indonesia datang," katanya.
Menurutnya, tak ada masalah bila tamu yang diantar datang dari Indonesia. Pasalnya, kebanyakan turis asal Indonesia, sangat gemar berbelanja. "Saya bicara sejarah Cina atau latar belakang suatu objek wisata yang akan atau tengah dikunjungi, tak begitu dihiraukan mereka. Baru antusias kalau saya menjelaskan tentang lokasi belanja dan cara menawar barang," ujarnya, sembari tersenyum.

Beda dengan turis Eropa. Dia harus belajar kembali literatur objek sejarah yang akan dikunjungi, karena umumnya pertanyaan mereka sangat kritis. "Tak jarang mereka menyela, atau mengkritik jika penjelasan saya berbeda dengan literatur yang mereka pegang," katanya.

Sedang untuk urusan belanja, mereka malah kurang antuasias, katanya. Olala...

Dimuat di rubrik citizen jurnalism/traveling di sini


Harganya Rp 25 ribu. Beli di Malioboro, Yogyakarta. Bukan soal harga yang jadi masalah, tapi resleting yang sudah rusak di pekan pertama dipakai (Saya rancu: resletingnya yang emang gampang rusak, atau saya sebagai pemilik baru yang terlalu tak beradab membuka-tutup nya>-<...)

Di-pensiundini-kan?Sayang. Paduan warnanya saya suka. Maka sedikit bersusah-payah, resleting saya ganti. Sekalian, menambah aksen di talinya, yang sebelumnya dibuat asal nempel saja. Begini saya mengerjakannya:


Awalnya, begini tampang dia:




Kemudian, saya membuat empat crochet granny square, sesuai jumlah ujung tali yang akan saya sembunyikan di baliknya.





Contekan motifnya ada di sini:



Bila telah siap, jahitkan ke ujung-ujung tali, yang semula hanya asal tempel itu. Sekalian, kuatkan tali dengan tusuk jelujur dengan cara melingkar, biar kuat:
















Begini hasil akhirnya:



Karena saya sedang "rajin", maka ujung resteling saya permanis dengan bunga imut dari crochet sederhana. Jadi begini penampilan baru tas saya. Kenapa dalam judul blog saya ini saya bilang classy? Karena ada teman sekator saya yang lugu (hik...hik...puas ngatainnya...) dan dengan takjub nyolot tapi salah: "Ini pasti beli di Sar*n*h ya?" xixixixixi....










Bolero apa pashmina? Boleh dua-duanya, Kok bisa? Bisa saja. Wong awalnya mau bikin pashmina, eh...malah kependekan. Jadi sisinya disambung saja, sisakan tengahnya untuk badan. Maka jadilah.

Sttt....jujur nih....awalnya sih karena salah milih benang. Terlalu gendut diameternya, jadi pakai hook yang biasa saya pakai (nomor 3/4) hasilnya jadi kaku.  Untunglah, ada hook nomor 10 yang iseng dibeli di Micky Mocko beberapa waktu lalu.


Bermetamorfosa, sahabatku yang semula berbusana ala "anak pengajian", berubah menjadi modis. Dia tetap mengaji, dan dia tetap pribadi yang sama. Bedanya: dia apik dalam berbusana.

Karena gayanya yang ceria, julukan "centil" muncul kemudian. Seorang bos bahkan memanggilnya dengan panggilang sayang, "Ibu Centil".

Beberapa, menyebutnya "berubah". Bahkan, ada yang antipati padanya, hingga sahabatku ini merasa karakternya telah dibunuh. Nama dia mati sebelum waktunya.(Tapi dia menganggapnya angin lalu. Aku tak tahu apakah malam-malam dia harus sesenggukan -- seperti yang kerap aku lakukan -- atau tidak. Tapi dalam keseharian, dia tetap ceria...centil).

Bagaimana dia di mataku? Aku pernah mengkritiknya. Sengit, Bagiku, lebih baik mengungkapkan langsung, daripada "bergerilya" di belakang.  Lebih fair bagi dia dan aku.

Dia "pejuang" gigih dalam segala hal. Ketika hubungan dengan suaminya menghambar, misalnya, dia gigih memperbaiki semua. Setahuku, kini mereka makin solid. Ketika anaknya bermasalah secara psikologis, dia gigih mencari jalan keluar; mulai dari mencari terapis andal, memperbaiki hubungan, dan seterusnya. Bukan hal yang mudah, apalagi ada fase dia harus skip karena urusan belajar ke negeri orang.

Kepanjangan aku bercerita. Maaf.

Lalu apa hubungannya dengan syal? Aku pernah membeli seutas kalung kayu (tertulis made in Filipina, aku beli di Jeddah -- nah lho?!) dan gelang giok Cina, saat malam terakhir di Mina. Aku niatkan untuknya, untuk melengkapi "kecentilannya".

Gelang giok telah pecah saat kopor kubuka. Aku ceroboh, tak menyimpannya di dalam lipatan baju. Kalungnya, ngumpet entah kemana. Barangkali sudah berpindah tangan, mungkin juga masuk gudang. Entahlah.

Utang itu, menggantung di otak. Maka pekan lalu, aku tawarkan gantinya: syal. Dia menyebut warna: abu-abu.

Aku mengerjakannya tiga hari penuh. Menggonta-ganti model. Akhirnya ketemu juga, dengan merangkai pola dasar yang aku dapat dari buku crafting oleh-oleh Ajeng, teman sekantor, dari Jepang.

Hasilnya, menurutku sih lumayan. Tak tahu menurut dia. Pekan depan, aku kirimkan. Utangpun lunas terbayar. Leganya...