twitter


Pernah mempunyai furnitur usang yang sudah: jelek, kusam, ketinggagalan zaman, memperburuk ruangan jika tetap di pajang, malu-maluin -- pokoknya gitu, deh -- tapi sayang untuk dibuang? Saya pernah.

Membuangnya, bukan jalan keluar. Apalagi, benda itu adalah amat sangat bersejarah (bagi saya). Itulah furnitur pertama yang saya punya, dibeli beberapa bulan setelah menikah. Harganya hanya Rp 450 ribu saat itu.

Yang membuatnya bersejarah adalah: ayah anak saya membelinya sore hari saat hujan lebat, dan pak penjualnya kuyup sementara kursi rotannya belum ada yang melirik seharian.

Kini, 14 tahun kemudian, Anda bisa membayangkan seperti apa bentuknya. Apalagi, kualitas rotan yang digunakan bukan kualitas rotan terbagus. Tapi mau dibuang, ya itu tadi: sayang.

Maka, akhir pekan kemarin, suami berbaik hati (halah....dia memang selalu siap mengantar kemanapun ding) mengantarkan saya ke toko tenun ikat di Kemang. Pilah-pilih, ketemu warna putih (setelah sampai rumah menyesal, kenapa tidak yang coklat saja?). Saya beli lima meter, dengan pertimbangan kursi saya panjangnya 2 meter. Tapi setelah memaksimalkan pemakaian kain, sisa semeteran.

Yang dilakukan, hanya 'membungkus' kursi dengan kain itu, kemudian dijahit. Yang agak repot, adalah memasang sisi sandaran lengan, karena ternyata tak sesederhana bayangan saya semula. Tapi setelah trial and error beberapa kali dengan kertas koran sebagai alat 'uji coba', jadilah semua.

Dijahit tak sampai dua jam, jadilah 'sofa' amatir saya. Tak bagus-bagus amat, tapi lumayanlah, bisa buat nongkrong suami di pagi hari, baca koran sambil sarapan.

Begini metamorfose kursi saya:




Setelah make over:


0 comments:

Post a Comment

Komentar Teman: