twitter


Asli, ini posting norak jaya. Sama dengan kekonyolan teman-teman lantai penthouse di kantorku, tempat aku kadang menghabiskan separo malam.

Ceritanya, demam mal di Jakarta -- tiap jengkal kawasan di Jakarta kini berdiri mal, entah siapa yang mau berbelanja -- mampir juga di Kawasan Buncit Raya. Ndilalahnya lagi, pas di seberang kantorku. Di seberang itu ya benar-benar seberang, karena jalan Pejaten yang memisahkan tak seberapa lebar.

Dari awal mal itu hanya pondasi hingga kini berlantai lima, kami sama-sama jadi pengamat. Melihat pekerja bangunan dengan pengamanan minim, kami sama-sama miris. Melihat mereka berbagi makanan, nyaris berebut, membuat kami terharu berjamaah.

Tak terasa, kini mal berdiri megah dan besok beroperasi. Seminggu kemarin, kami merasakan perubahan, tepatnya revolusi, yang terjadi. Warung-warung makan yang semula sepi, menjadi hiruk-pikuk oleh para karyawan mal baru yang mulai sibuk menata lapaknya. Parkiran kantor juga makin semarak. Di kantin, banyak pemandangan baru.

Dan, ini dia. Para bapak di kantor yang semula anteng jaya (dengan kadar jaim hampir mendekati 95 persen) --terutama bila DL -- kini makin tampak aslinya he..he...
Tiap hari ada saja yang berteriak bila melihat "penampakan" di tetangga baru kami itu. "Bening...Bening...Bening..." atau "Kinclong...kinclong..."

Ini bukan tentang air lho ya, tapi para SPG dan pegawai baru yang penampilannya memang rata-rata atraktif.

Kadang-kadang, memang bening betulan, tapi seringkali, sekadar meledek saja. "Seksi..seksi..seksi....", ternyata yang terlihat adalah pekerja dengan kaus bolong sana sini, dan tampak serius menekuni pekerjaannya. Setengah manyun gitu.

"Hore...tank top merah..." Maka para bapak segera menoleh ke arah jendela. Yang terlihat kadang betul gadis bertank top merah, kadang beda lagi; seorang tukang dengan kaus merah berlogo partai tertentu yang sobek di sana sini.

Jadi Enci, kalau kamu pengen melihat teman-teman sumringah saat mengejar tenggat, mampirlah ke kantor lamamu. "Untung gua gak jadi resign," teriak si Bapak di front tengah temen kita (You know who lah...) He..he..


Foto diambil dari: www.k5.com




Perca kadang sakti juga. Kecil, tapi kerap mewarnai. Sedikit sentuhannya, kadang membuat penampilan tampak berbeda. Masa iya?

Ya sudah kalau gak percaya, tonton saja yang ini:
























Foto: Keanu Reeves muda, taken from: alllayedout.com

Internet menyatukan kami kembali. Dia di kotanya, menjadi seseorang. Aku di Jakarta, menjadi diriku saja. Eh, tepatnya, menjadi istri setia seorang jurnalis dan emak dua anak yang beranjak menuju teenager. Lalu tanpa disengaja, aku mengintip blognya -- tidak sengaja; karena ketika sedang browsing suatu terminologi, blog dia antara lain yang disajikan Paman Google untuk menjawabnya.

Semalam, entah bagaimana caranya, dia menemukanku. Dia bertamu ke MP dan meningggalkan puluhan, bahkan ratusan pesan. Aku kewalahan menghapus jejaknya. Ketika aku hapus satu pesan, muncul yang baru. Bermenit-menit jariku menari hanya di tiga tuts: ctr-alt-del. Tapi tak kunjung selesai. Aku kelelahan. Akhirnya aku memutuskan untuk men-shutdown komputer secepatnya, mencabut power modem yang masih menempel, dan menjauhkan diri dari radius komputer.

Apa isi pesannya? Dia mempertanyakan kenapa aku dulu meninggalkannya (ada rasa aneh, kok aku dituduh meninggalkannya? Bukankah dia yang meninggalkanku sehingga aku perlu berkotak-kotak tissue untuk melupakannya?) Lalu dia bersumpah serapah dan mengajak bertemu untuk menyelesaikan masalah. Masalah apa lagi yang belum selesai?

Aku tak meladeni. Itu masa lalu bangek ngek ngek, yang kronologinya pun aku sudah lupa. Tidak aku catat pula, karena aku tidak merasa perlu untuk mencatatnya. Tapi kalau tiba-tiba dia hadir dan mempertanyakan, menjadi sangat lucu dan menakutkan!

Tiba-tiba pintu depan diketuk. Ada suara dia memanggil-manggil. Aku makin menggigil. Aku mencari punggung suamiku untuk kupeluk, mencari damai dan rasa aman. Sesaat terdiam, aku memutuskan untuk menghadapinya, sendiri.

Aku bangkit. Tapi kepalaku terantuk meja konsol di pinggir dipan. Keras. Aku meringis kesakitan. Mataku kubuka lebar-lebar.

 THANKS  GOD... CUMA MIMPI !!!!!!!!


Belakangan, energi untuk menekuni craft raib entah kemana. Barangkali karena sibuk mengajar, atau hari-hari yang kini tanpa asisten di rumah, atau pekerjaan kantor yang tiba-tiba beat-nya meninggi. Menengok pojok craft, ada rasa bersalah. Perca di sana-sini tak terurus, alat-alat berserakan dimana-mana (jagoanku, Bru, andil besar dalam hal ini). Semalam, tiba-tiba ada rasa "ingin" yang demikian kuat. Setelah anak-anak terlelap, aku mengendap-endap ke ruang belakang; bebenah. Tiba-tiba mata tertuju ke perca yang aku potong bulat-bulat. Ya, bukankah sebulan lalu aku mulai mempelajari teknik fuxico? Fuxico adalah salah satu teknik "potong serut" perca untuk dibentuk menjadi -- mostly -- bentuk bunga dan dirangkai menjadi banyak bentuk dan karya. Konon, fuxico yang asalnya dari Brazil itu berasal dari kata "fuxicar" yang artinya adalah gossip. Kok? Ya. Sebagaimana quilting, di Brazil fuxico biasa dilakukan kaum ibu di perdesaan sambil duduk-duduk melingkar. Ibu-ibu ketemuan biasanya kan bergossip (huh...sebel dengan stereotip model begini....). Sama seperti quilting, fuxico juga dimainkan menjadi aneka craft: bedcover, penutup teko, taplak meja, hingga rompi dan baju pesta. Maka, malam ini aku membuat puluhan bunga perca. Mau dijadikan apa, dipikirkan kemudian. Yang penting bikin-bikin-bikin dan bikin. Sampai tak terasa mata mengatup dan bergegas tidur. Lupa pada acara bebenah!


Namanya saja darurat. Ada daster ibu yang disulap menjadi daster kakak, ada pasmina yang disulap menjadi daster juga. Hidup daster! he..he.. Sang mudel sedang begaya..... Nyengir jaya..... Padahal, beginilah belakangnya: Satu lagi: Asalnya begini.... Lalu dilubangi tengahnya, dijahit pinggirnya (sisakan 10 cm di bagian atasnya untuk lengan)..... Dan, taradalalalalaaaa..........


Pembuka Benang (Seam Ripper) Dulu, ketika masih belajar menjahit dengan guru ibu saya, membuka jahitan -- bila ada kasus salah jahit, kebablasan jahit, atau inseiden "terjahit" -- dilakukan dengan silet merek Goal sisa bercukur bapak. Dampaknya, tak hanya jahitan yang kebuka, tapi juga kainnya turut tersobek, apalagi bila dilakukan terburu-buru (karena terlalu bernafsu ingin segera melihat hasil akhirnya). Maka ketika suatu hari menemukan alat untuk membuka benang, girangnya bukan main. Alat pembuka benang ini mempunyai dua poin, satu bagian tajam dan satunya lagi melindungi kain agar tidak turut tersobek. Pengoperasiannya sangat mudah dan tak perlu buka mata lebar-lebar seperti halnya menggunakan silet Goal bekas bapak bercukur tadi. Jenisnya pun beragam, dari yang kecil, sedang, hingga besar, tergantung kebutuhannya. Kalau untuk menjahit sederhana di rumah, yang ukuran kecil saja sudah cukup. Kegunaan: Membuka jahitan yang tak dikehendaki. Cara penggunaannya bisa dilakukan dari tengah-tengah jahitan atau dari salah satu sisi benang, yaitu dengan "mencincang" benang dengan jarak 1-2 cm sampai selesai, kemudian tarik sisi benang lainnya. maka jahitanpun terbuka. Perawatan: * karena ujungnya lumayan lancip, apalagi bila pelindung lancipnya (duh...gimana ini ngomongnya?) hilang, maka usahakan agar "topi"-nya senantiasa terpasang bila tidak digunakan. Bila tidak, cedera tertusuk sangat mungkin terjadi. * Bila mulai tumpul, asahlah dengan cara menggesekkan bagian tajamnya dengan pisau baja. Lakukan pelan-pelan saja.


Kepala berputar, muntah. Tensi drop 90/60. Kata dokter, vertigo.
Tak hanya itu, ada juga "bonus"-nya; tes darah menunjukkan ada infeksi di
saluran kemih.
Betul kata Ustadz YM, kita menghargai sehat ketika jatuh sakit....


Kadung dijanjikan, Adek mulai tak sabar menunggu boneka ular pesanannya. Sementara emaknya otaknya masih mereka-reka apakah ular alan dibuat meliuk atau memanjang, apakah mangap atau mingkem, apakah jenis kelaminnya laki-laki atau perempuan ( hah?!).

Dalam bayanganku, boneka ular itu harus feminin, biar kakak ikut merasa memiliki. Maka aku membuatkan korsase-nya terlebih dulu (maaf ya, ular di Pamulang memakai pita dan korsase...he..he...). Baru setengah jalan, Adek mulai tak sabar. "Ayolah ibu, aku tak sabar dengan ularku...!"

Maka, aku pun memutuskan cepat: membuat ular panjang dengan mulut mangap dan lidahnya terjulur berwarna pink.



Bahan:
* Kain putih 10 X 10 cm
* Kain bergaris 6 X 115 cm
* 2 buah manik-manik
* pita kecil 7 cm (untuk lidah)
Cara membuat: ***Diposting kemudian.




href="http://rumahperca.multiply.com/photos/hi-res/upload/SLJWfwoKCm0AAD7iPw81">


Darurat judulnya.

Jari tengah tangan kanan mulai kapalan. Jari telunjuk tangan kiri mulai kebal jarum. Ya. Berasa juga hari-hari tanpa mesin jahit...

Mau membeli yang baru, masih garuk-garuk kepala lihat harganya. Mesin Singer 140 W yang dulu sekitar Rp 1,8 juta, kini berubah harga. Untuk tipe paling sederhana yang aku incar, harus tersedia uang paling tidak Rp 2,5 juta. "Mesin sudah tidak diproduksi di dalam negeri," ujar pemilik toko. Maka aku memutuskan balik kanan dan gigit jari dulu untuk sementara.

Sampai sekitar dua pekan lalu, iseng-iseng melongok reward Citibank untuk pengutang setianya he..he..). Ada gambar mesin jahit di situ. Kemudian berhitung dengan poin yang sudah aku kumpulkan untuk mendapatkannya. Wah, pas. Ternyata hanya butuh 19.000 poin saja. Beres. Aplikasi penukaran online segera aku isi, dan seminggu kemudian mesin itu sudah tronggok manis di meja.

Apa mereknya? Tanpa merek. Bahan dominannya plastik dan mika. Pengoperasiannya sederhana. Ada tombol untuk jahit cepat dan lambat. Lampu kecil terdapat di atas tempat jarum, sangat membantu untuk menjahit yang butuh ketelitian. Kelemahannya, tidak ada setelan untuk ukuran jahitan, tidak bisa untuk menjahit kain yang tebal, dan tidak bisa memijat..eh salah... tidak bisa diajak "ngebut".

Tapi aku terbantu sekali. Apalagi kalau pas sedang menjahit, datang Adek dan menawarkan diri untuk menginjakkan pedalnya. Sembari menginjak pedal, mulutnya tak henti-henti menirukan suara mesin mobil balap: serasa menjadi Rossy yang tengah berlaga.

Judulnya mungkin bukan darurat lagi. Tapi emak girang, anak ikut senang. Halah....

***********************************************************************


foto: yourashford.co.uk


Apa cita-cita Anda ketika kecil dulu? Aku dulu mengidamkan jadi pegawai kantor pos. Selalu menguntit ibu yang adalah seorang kepala dinas pertanian kecamatan mengirimkan laporan Bigra setiap bulan ke minimal 10 instansi, aku membayangkan enaknya jadi tukang stempel di kantor pos. Bila untuk membuat laporan itu ibu harus ngelembur, dia hanya cukup menyediakan bantalan dan cap yang ujungnya panjang melengkung. Jebret-jebret-jebret...dalam waktu singkat, amplop-amplop berisi angka-angka yang disimpulkan ibuku semalaman dari laporan para petugas pertanian lapangan sudah masuk dalam keranjang; siap dikirimkan.

Ketika aku mengemukakan cita-citaku pada ibu, blio mengangguk-angguk saja. “Tak ingin menjadi dokter?” tanyanya. Aku menggeleng mantap.

Besar sedikit, cita-cita bergeser menjadi guru, lalu pedagang (tapi yang punya timbangan dengan anak timbangan banyak...), lalu relawan di pedalaman. Menekuni pekerjaan yang aku geluti sekarang, tak pernah ada dalam kamusku.

Pekan lalu, di sela-sela kesibukanku menyiapkan tulisan tentang kopi Harar -- aku pengopi, seorang teman meminta tulisan untuk majalahnya -- dan puasa bagi diabetasi --- berdasar pengalaman menyiapkan menu untuk Jose yang seorang diabetasi -- aku menguping celotehan anak-anakku.
Kakak, dulu mengidamkan pekerjaan menjadi "pembuat uang; biar ibu tak usah bekerja, dan mesin ATM ada di depan rumah" kini mengidamkan hal baru: menjadi wizard alias tukang sihir. "Tapi yang baik hati," katanya.

Menjadi tukang sihir putih adalah tema obrolannya beberapa hari ini. "Boleh kan, aku menjadi pelukis dan the wizard?" tanyanya. Aku yang otaknya sedang lebih tune in ke tulisan, mengangguk saja.
Dengan menjadi wizard, kata dia, dia bisa berbuat banyak. Menolong orang, membahagiakan keluarga, dan membuat yang tidak mungkin menjadi mungkin.

Adiknya, teriak tak kalah lantang, "Aku ingin jadi pawang ular!"Tampaknya, dia mulai terobsesi dengan Animal Planet yang rajin ditongkronginya.

Terkejut sejenak, aku dan Jose makin terbiasa.

Seperti halnya kedua orang tua kami membebaskan kami untuk bercita-cita apapun, maka kini kami pun membebaskan anak-anak untuk berkhayal tentang cita-citanya. Tapi kalau benar menjadi penyihir dan pawang ular?????? Oh My God....ampyun...ampyun....

Foto dari:
www.imdb.com




Aku kehilangan banyak akhir pekan belakangan ini. Sibuk mondar-mandir untuk beragam urusan, lalu ke Palembang, lalu ke Purbalingga dan Pekalongan seminggu kemudian. Minggu ini baru aku merasakan nikmatnya berada di rumah 36 meter persegi kami. Meski AC ngadat dan -- you know lah...bagaimana rasanya...tubuh serasa meleleh -- rumah seperti kapal pecah, namun kami menyempatkan membuat proyek bersama. Temanya kali ini: hiasan dinding.
Awalnya, biasa....kakak malas-malasan. "Mencabut"-nya dari depan komputer di akhir pekan bukan pekerjaan yang gampang. Harus kuat rayuannya. Tapi begitu crayon sudah tersebar, dia antusias. Proyek dia, membuat tampilan situsnya di atas kertas (tak jauh-jauh dari apa yang membuatnya super duper sibuk di hari liburnya...)

Si kecil Azam, yang cita-citanya menjadi pawang ular (...) seperti biasa terobsesi dengan dunia fauna. Apalagi hari ini dia girang betul mendapat nilai 80 untuk gambar ikan yang dibuatnya. Maka dia membuat alam bawah laut menurut versinya. Sunyi...sepi...samudera seluas itu hanya ada dua ikan besar dan kecil.....).

Sejam kemudian, dua belahan jiwa itu sudah selesai dengan proyeknya..






Bagaimana dengan emaknya? Aku membuat lukisan dengan perca. Memindahkan gambar pemandangan zaman kita kecil dulu: dua gunung, satu pohon, ada matahari di atasnya. Lalu angka tiga rebah, burung bangau terbang.
Lalu bojo surojo? Ah...dia dikerjain aja untuk jadi model. Begini gayanya:












Dunia craft Indonesia pernah mempunyai aset yang menurutku sangat berharga, Ibu Lia Aminudin. Ketika kerajinan bunga press (apa sih, istilah tepatnya?) belum populer di sini, blio datang dari Belanda dan mengenalkannya.
Dulu, ketika SD, aku selalu berlama-lama di depan teve (TVRI, geto!) menunggu acaranya. Penjelasananya sangat gamblang dan "menantang" untuk mencoba. Setelah acara selesai, aku pasti akan segera meloncat ke taman kecil ibuku untuk memetik bunga aneka warna dan daun aneka bentuk. Kemudian mengendap-endap ke ruang kerja bapak dan menyelipkan bunga-bunga itu di tumpukan laporan tahunan dewan atau buku-buku tebal koleksi Bapak. (Prenah Bapak murka jaya, karena hasil ketikannya belepotan noda dari bunga-bunga pressku. Padahal, hasil kerja berminggu-minggunya itu harus dipresentasikan di hari blio murka itu....)
Beberapa minggu kemudian, aku akan terkagum-kagum sendiri dengan keajaiban yang terjadi: aneka bunga kering press yang siap untuk ditempelkan di kertas karton dan dibingkai.
Puluhan tahun kemudian, blio muncul lagi di banyak TV (dunia pertelevisian berkembang, dan TVRI makin terpinggirkan) tapi untuk hal yang lain; aktivitas blio di Salamullah yang membuatnya bersinggungan dengan aparat hukum.
Lepas dari bahwa aku bukan simpatisan dan tidak kenal sama sekali dengan Ibu Lia dan Salamullahnya, aku sangat kehilangan dia. Mestinya, di jagat craft, blio bisa berkiprah banyak. Bisa membuat kemaslahatan lebih besar dengan mengajarkan bnyak keahliannya kepada generasi berikutnya...


Kadang suka gak percaya, janin segumpal yang dulu ada di perut gendut ini kini sudah menjadi teman curhat paling mengasyikkan ...
Juga, sudah mulai bisa diberi tangung jawab: menjaga adik (kata simbahnya, dia mengawal sang adik dengan sangat sempurna), membagi waktu, belajar sendiri, pulang pergi sekolah dan kursus sendiri. Juga kabur mencegat ojek ketika jemputan tak datang-datang ...
Dan kini...dia juga bisa menjadi asistenku yang paling andal di jagat internet. Saat aku pergi untuk beberapa hari ke luar kota...dia "menjadi aku" dan mengawal seluruh blogku: mengganti tampilan MP, hingga melaporkan setiap message yang aku terima.
Gumpalan janin itu kini sudah menjadi bidadari jelita............





Dapan pesan dari ibu ini, katanya aku kecipratan awardnya ( .....:D suwun ya bu...). Aturan mainnya begini:
1. The winner may put the logo on her blog
2. Put a link to the person you got the award from
3. Nominate 5 blogs
4. Put links to the blogs
5. Leave a message for your nominees award


Maka mengikuti aturan, aku melemparnya lagi kepada:

1. Ibu dydy di Amrik

2. Ibukiki di Lampung

3. Ibu Amick di Purwokerto
4. Ibu shinto di Jakarta
5. Ibu Ninit di Singapura
Dari mereka antara lain aku menyerap banyak inspirasi.


Sepuluh menit saja menyulap baju kakak menjadi baju adik yang berkunjung dan kehabisan baju......

Awalnya begini:










Terlalu kegedean untuk anak umur 2 tahun kan?
















Dijahit di area sekitar leher saja. Saya menggunakan pita kecil sebagai benang. Kemudian dikerut begitu saja...



Begini jadinya...















Yang ini juga dibuat dengan cara yang sama:








Ingat proyek insomniaku tempo hari? Sampai kemarin pagi, masih utuh seperti sedia kala. Masih belum memutuskan untuk jadi apa. Tapi pigura sudah dibeli sih. Seapes-apesnya tidak jadi apa-apa, dia akan aku masukkan pigura dan jadilah hiasan dinding.
Hingga....susah tidur lagi dini hari tadi. Tepatnya bukan susah tidur. Aku tidur sore saat bojo surojo, yang adalah atlet gaple dan catur andalan RT, seperti biasa harus masuk "pelatnas" pukul 20.00. Pulang pukul 01.30, blio langsung mendengkur dengan suksesnya. Alhasil, istri jelita ini terbangun dan susah untuk terpejam lagi. Suara kereta api itu sungguh nyaring bunyinya...
Mencoba bergabung dengan kakak dan Bru -- dia lebih senang dipanggil Ade, karena sekarang menjadi adiknya kakak -- nihil hasilnya. Dua jagoan itu sama-sama hobi monolog plus saling menyepak dan muter searah jarum jam selagi tidur.
Maka, teringatlah proyek insomnia itu. Atas saran Uli di sini beberapa waktu lalu, jadilah tas imut yang bakal menemani jalan-jalan akhir pekan kakak....





























Setelah sekian minggu rajin window shopping di MP, aku amati hampir semua toko mensyaratkan rekening BCA untuk transfer-mentransfer pembayaran. Beberapa kali aku naksir barang, tapi urung karena mikir ribet mbayarnya: aku tak punya rekening BCA (hare gene...celetuk temen online-ku).

Masalahnya sederhana saja. Gaji ditransfer melalui Lippo (sekarang beralih ke Mandiri). Urusan bayar membayar (listrik, telepon, internet, tv kabel, hp, etc) semua bisa selesai dengan kartu-kartu itu. Jadi kenapa aku harus mempunyai ATM BCA? Apalagi setelah aku amati, ATM (dan teller) BCA lebih banyak antrinya dibanding yang lain. Membuang waktu lebih banyak, maaf maaf saja.

Tapi suatu hari, aku kesengsem berat sama baju imut untuk bayi. Kebetulan, kakakku berikut kru-nya (anak-anaknya yang empat orang itu) ada di rumah. Mengawal empat kurcaci seorang diri, tentu ada yang lewat-lewat. Nah apesnya, Nayu, anak terkecilnya, kehabisan stok baju, karena hanya membawa empat helai saja. Maka aku PM pemilik toko, pesan baju anak.

Ndilalahnya, aku juga harus pergi ke luar kota untuk satu urusan. Pulang-pulang baru ingat belum bayar di baju. Aku tengok lagi balesan PM blio, bayarnya pakai BCA. Huaduh!

Aku ke ATM Mandiri terdekat, untuk siapa tahu bisa transfer antar rekening. Ternyata, BCA tak masuk jaringan ATM bersama. Transfer gagal hari itu. Lalu jadwal tenggat yang mepet membuat aku tidak bisa v\curi-curi waktu untuk antri di BCA.

Baru hari ini kesampaian. Aku di urutan ke-30 dari ular antrian di loket teller yang --mungkin karena saking banyaknya nasabah, jadi senyum tak perlu lagi -- garang. Beruntung ada TV yang tengah menanyangkan berita infotainment. Jadi sambil antri, aku sekali-kalinya mengikuti berita sidang cerai Halimah-Bambang secara utuh. Sampailah aku di depan teller.

"Mau transfer, pak," kataku.

Tanpa senyum atau melihat wajahku, ia menarik kertas setoran dari tanganku. Mengamati angkanya sebentar, lalu dia bertitah, "Sistem kami tidak bisa memproses transaksi di bawah Rp 50 ribu."

"Lho, jadi bagaimana?"

"Ibu transfer Rp 50 ribu saja, atau pakai ATM."

"Tapi saya kan tidak punya rekening BCA?"

Dia diam, tidak memberi solusi apapun. Dan...memanggil nasabah berikutnya.

Sakit hatiiiiiii........Kalau tidak ingat aku sudah mengecewakan pemilik toko di MP itu, aku akan mundur. Batal.

Akhirnya aku menuju ATM di lantai bawah dan ada seorang bapak selesai bertransaksi. Singkat kata, aku minta tolong si bapak untuk mentransferkan ke nomor rekening pemilik MP. Dia sempat curiga sejenak. Tapi akhirnya transfer-mentransfer pun beres. Aku memberikan uang padanya.

Oala........



Dipan sofa sudah bosan dilipat-urai-lipat-urai. Saatnya dia berfungsi sebagai dipan seterusnya (sampai pemiliknya bosan dan memutuskan untuk dilipat lagi.....).

Sentuhan apa yang membuat dipan sofa tampak seperti dipan "normal"? Hmmmmm....semoga aksen kayu bisa membantunya

Jadi beginilah dia tampil mulai dua pekan ini: