twitter



Itu bukan gentong, pemirsa. Perut yang leban membiru setelah setiap hari disuntik heparin. Sebenernya ndak perlu harus membiru, kalau yang menyuntik jago. 

Sayangnya, saat tiba-tiba ingin tetirah ke Malang sambil menyaksikan adik bontot tersayang diwisuda (doi putra kebanggaan bapak ibu), tak menemukan RS yang suntikannya senyaman di RS langganan. Dilakukan oleh perawat, yang kayaknya grogi betul sehingga perlu memanggil seniornya untuk menggantikan tugasnya. Ini yang nyuntik sang senior lho....bagaimana kalau perawat grogi ituh yang nancepin jarut di perut sekseh ini....

*pukpuk diri sendiri*

Sent from Samsung tablet

INR


INR, apa itu? Ini pertanyaan pertama saya ketika dokter menyuruh saya melakukan tes ini berbarengan dengan tes yang lain. Tambah penasaran ketika blio melingkari tebal hasil tes itu, setelah saya mrmbawanya dari Prodia. "Googling ya, kalau ada yang tak jelas, pas kontrol berikutnya kita diskusikan," ujar blio.

INR kependekan dari International Normalised Ratio. Sederhananya, si INR ini adalah 'meteran' untuk mengukur kekentalan darah. Disebut normal jika INR berada pada kisaran 2 sampai 3. Di bawah 2 tidak bagus, di atas 3 juga demikian. Bagi pasien APS, INR di atas 2 dan di bawah 3 adalah berita menggembirakan, melebihi kegembiraan dapat tiket murah Air Asia Jakarta-Osaka, karena artinya darah jauh dari hal yang menyebabkannya menggumpal.

Saat pertama divonis APS, INR saya 1 dan D Dimmer jauh di atas angka 500, mengindikasikan sudah ada bekuan darah dan saya terancam mengalami emboli paru-paru. Pasien APS biasanya diwajibkan memantau INR-nya, paling tidak seminggu sekali. Biayanya sekitar Rp 135 ribu sampai Rp 200 ribu sekali tes di laboratorium swasta.

Dan, hampir tiga minggu ini, saya menjadi 'hamba' INR yang patuh. Karena tes darah terakhir angkanya di bawah 1 - atau tepatnya 0,8 jauh dari angka normal antara 2 sampai 3 - maka dokter memutuskan menambah kadar Simarc 2 yang saya konsumsi. Malam ini, untuk pertama kali saya harus menelan dua butir obat dari keluarga warfarin itu, di samping aspilet dan juga steroid di pagi hari. Harus dipantau dengan tes darah sepekan sekali karena jika kebablasan, berisiko terjadi  perdarahan di dalam tubuh.

Semoga pusing dan melayang ini segera berlalu.

*postingan galau di sela denging telinga dan kepala serasa goyang*



Menjadi penguntit, itu yang saya lakukan selama bedrest beberapa pekan ini. Terhadap anak dan suami tentu saja. Tepatnya, saya jadi sangat rajin mengintip akun twitter, facebook, dan blog mereka. Mungkin seperti mamanya Julie Child dalam Julie danJulia. Saya selalu menjadi pemberi 'like' pada barisan pertama ;-)

Hari ini, saya mengintip akun Instagram cindil semata wayang saya. Ada perempuan jelita (pakai banget, jangan protes!) dan kekasihnya di sana: ayah dan ibunya, aka saya dan suami saya. 

Tapi caption di bawahnya yang membuat saya berkaca-kaca. I love you Ndul. I feel blessed to have you in my life. 



Sent from Samsung tablet


Dua minggu ini, saya memasuki dunia yang benar-benar baru: berada dalam barisan segelintir kecil perempuan  -- katanya hanya 2 persen yang mengalami -- penderita antiphospholipid syndrome. Para suster di rumah sakit tempat saya dirawat menyebut penyakit ini 'adiknya Lupus'. Mak Aya, wanita Betawi yang kerap memijat saya, dengan melihat biru lebam di kaki saya, menyebut sakit saya karena 'dijilat setan'. "Nanti juga sembuh sendiri," ujarnya. Saya mengangguk saja, menghormati simpatinya.

APS saya bermula akhir bulan lalu, ketika tiba-tiba telinga sebelah kiri tuli mendadak. Ke dokter THT di klinik dekat rumah, dokter bilang telinga saya kotor dan segera dibersihkannya. Besok sembuh, katanya.

Tapi ketika 'besok' itu tiba, tuli tak kunjung hilang. Bojo saya tercinta segera mengajak ke rumah sakit THT Proklamasi di BSD, 20 menit dari rumah. Menjalani audiometri, dokter menyatakan kuping kiri saya fungsinya sudah jauh menurun. Tak bisa mendengar nada-nada bass.

Tuli mendadak, kata dokter THT itu, disebabkan banyak faktor. Bisa virus, tumor di otak atau rahang, udara terjebak, atau darah yang terlalu kental. Saya pulang dengan segepok obat, jumlah enam macam, dan tiap hari harus datang untuk menjalani fisioterapi. Pendengaran berangsur-angsur membaik, walau bunyi denging tak juga hilang. Denging yang saya mencoba membiasakan diri dengannya sampai hari ini.

Dari banyak artikel yang saya baca, jika tuli mendadak tak ditangani dengan baik dalam waktu 14 hari, maka akan menjadi tuli permanen. Pasalnya, sel-sel pendengaran yang tak mendapat suplai oksigen dalam waktu lama akan kehilangan fungsinya.

Insting saya bilang, ada yang salah dengan aliran darah saya. Kalau virus, rasanya tidak karena badan saya tak meriang atau demam. Telinga juga tak sakit. Tumor tampaknya tidak. Yang pasti, saat pusing kepala sebelah mendera, maka denging keras di telinga akan datang disertai jantung berdebar-debat seperti saat menerima pinangan belasan tahun silam (ehm!). Lalu, ya itu, kerap muncul 'pulau' biru di kaki. Atau di saat-saat tertentu, tanpa sebab juga, kaki pegal-pegal kayak habis disuruh kerja rodi.

Saya meminta tolong karib kami -- tepatnya 'emak' asuh, secara blio dulu yang hajatan saat saya dan Jose menikah hehe -- yang bersahabat dengan hematolog senior negeri ini untuk menanyakannya.

Prof Dr Zubeiri Djoerban menyarankan sederet daftar tes laboratorium yang harus saya lakukan, sebelum mendatangi ruang praktiknya. Antara lain darah rutin, INR, D-Dimer, ACA, APTT dan beberapa lainnya. Biaya tes lab nya lumayan....seharga tas batik Gia yang kualitas premium, hehe.

Pendek kata, saya dinyatakan mengidap APS. Di dalam darah saya ada antibodi yang terlalu sigap (atau terlalu idiot?) sehingga menyerang apa saja, bahkan protein baik dalam darah. Diperparah dengan adanya hiperkoagulasi dalam darah saya, yang jika dibiarkan akan membuat saya mati muda karena bekuan darah bisa menyumbat organ utama tubuh. Stroke, serangan jantung, kerusakan hati, atau gagal ginjal adalah risiko terbesar yang akan mengantar saya menjemput maut.

Menyerah? Tidak. Saya menolak untuk karam. Karenanya, saya berobat. Beruntung saya ditangani dokter yang cermat sekaligus jenaka. Saya beroleh banyak hikmah dari sakit ini.

* sambil mengoles thrombophob pada memar yang membiru di beberapa tempat bekas suntikan AriXtra




Foto: www.ipietoon.com

Mau tahu kenapa tampilan blog ini berubah? Kecelakaan, itu yang terjadi. Tepatnya, kebodohan. Siapa? Ya SAYA tentu saja!

Ceritanya, mau mengubah tampilan blog satunya, blog khusus buat jual-jual hasil karya. Maunya sih, biar blog ini murni jadi blog berbagi aneka ketrampilan jahit dan rajut saja.

Namun apa yang terjadi saudara-saudara? Salah setting + Kurang awas matanya + Gaptek + Pikun = Kombinasi yang sempurna untuk menghasilkan ketololan jenis baru..

Sialnya lagi, lupa tidak menyimpan back-up terlebih dulu. Sempurna sudah malam kelam itu. Tambah tersayat-sayat hati ini (emak-emak lebay mulai kambuh) ketika menjumpai semua serba dobel: heading, postingan, about us, semua!

Lalu tiba-tiba mata menjadi kunang-kunang, perut mulas, mual. Pengen ke toilet secara mendadak. Stress, saudara-saudara.

Lalu tiba-tiba ingat ada desainer template blogger yang karyanya keren-keren. Saya tak tahu nama asli blio, tapi ingat selalu situsnya, www.ipietoon.com. Ke sanalah saya memohon pertolongan.

Dini hari, saya menulis email padanya. Ajaib, paginya sudah berbalas, padahal saya sudah siap kalaupun email saya dianggap angin lalu saja. Tahu diri judulnya; siapa saya pagi-pagi buta tereak-tereak minta tolong?

Blio menyarankan untuk melihat HTML-nya. Lalu merujukkan saya pada salah satu posting blog-nya di sini.

Maka dengan meneliti satu-satu baris huruf-huruf aneh bak mencari kode buntut, ketemulah yang disarankan blio. Maka beginilah tampilan blog saya sekarang, dengan menggunakan template blio. Template lama yang keren itu, gak ketemu. Biarlah....barangkali sudah terbawa banjir ke laut lepas lewat pantura

Jadi buat Mbak Ipietoon di www.ipietoon.com di mana pun Anda berada, saya mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya. Mbak baikkkkkkk.....Tuhan yang akan membalas kebaikan Mbak!






"Pemanasan" setelah seminggu lebih berteman bakteri dan antibiotik: menyulap pipa paralon bekas jadi gantungan tirai: 

(1) siapkan pipa, lem, perca batik, sisa benang rajut untuk membuat tali pengikat ujung-ujungnya. 
(2) bungkus pipa dengan perca yang dipotong memanjang, dengan lebar kira-kira 2 cm dan panjang sesuai perca.
(3) buat pita dari rajutan buat pemanis, bisa juga digunakan pita instan dari toko. Tujuan selain mempermanis: mengikat ujung-ujung perca biar lebih kuat. 
(4) masukkan gantungan tirai pada pipa. (5) pasang deh di kusen jendela. 

Gak bagus-bagus amat sih, tapi lumayanlah...


Sent from Samsung tablet



Photo taken from: http://plasticscolor.com/blog/wp-content/uploads/2013/01/mom-baby.jpg

Mimpi di siang bolong (kenapa juga harus bolong yak?) : teman zaman masih sama sama memegang rubrik internasional dulu,  datang bersama suami dan tiga anaknya. Yang bontot, bayi usia tiga bulanan. Agak kaget juga karena seingat saya (bahkan dalam mimpipun logika masih bekerja), anaknya cuma dua.

Singkat kata, karena dia mau liputan ke Kementerian Luar Negeri, dia menitipkan bayinya yang ampun-ampun rewelnya pada saya. Girang betul, karena serasa punya anak lagi.

Padahal saat itu, dalam mimpi itu, sayanya juga lagi repot betul. Banyak kerjaan, hingga karena butuh ketenangan, saya memboyong laptop ke bawah pohon di kebun orang (enggak usah protes kenapa ke kebun orang ya, namanya juga mimpi). 

Begitu mereka pergi, saya menimang-nimang bayi yang saya lupa bertanya namanya yang rewelnya minta ampun itu. Sekali dua kali ayun, dia masih saja rewel. tapi begitu digendong dan sayanya bersenandung semerdu Barbra Streisand (jangan protes juga, sstt..), matanya mulai liyer-liyer lima watt gitu, lalu tertidur.

Tapi tiba-tiba ingatlah saya masih  meninggalkan laptop di kebun orang: kalau hilang bagaimana? Mau mengambil, tapi kok sayang betul takut sang bayi terbangun. Lalu alam setengah sadar mulai masup. "Biar sajalah ilang, wong cuma dalam mimpi ini," batin saya. Wak...bangun deh jadinya....semua cuma mimpi... :)

Kenapa harus teman yang sekarang sudah resign dan menikmati kehidupannya sebagai ibu rumah tangga yang datang? Aha, barangkali karena tiap kali membaca berita di situs luar negeri, krisis politik  Thailand tengah jadi topik bahasan. Saya dan dia dulu suka membahas tentang rasa 'kasihan' kami pada perdana menteri Thailand saat itu, Abhisit. "Dia datang di waktu dan tempat yang salah," katanya suatu ketika. Saya menimpali dengan enteng, "Coba kalau dia datang pada saat Andy Tennant hendak membuat film Anna and The King, di Hollywood sana. Pasti dia yang akan mengimbangi Jodie Foster berakting, bukan Chow Yun Fat." Ya, dia terlalu ganteng untuk menjadi perdana menteri hik hik.

Sang teman resign pada saat saya berhasil mengeja namanya dengan benar: Abhisit Vejjajiva
. (selama ini, kalau menulis berita kerap salah, dan dia yang membenarkan ejaan namanya).

Tapi wait...kata orang Jawa, mimpi tentang bayi bukan mimpi biasa. Tapi sarat makna. Mau dapat rezeki salah satunya. Jadi mari berhitung: sehari dua hari, tak ada apa-apa.

Namun di hari ketiga, aka hari ini, "apa-apa" itu terjadi. Tiba-tiba, Anak Lanang pulang sekolah setengah berlari, menyerahkan amplop. Isinya, uang tabungan dia selama kelas lima, dan hadiah dari dua kejuaraan yang dimenanginya saat mewakili sekolahnya. "Buat ibu semua," katanya. Wow...tiba-tiba si 'debt collector' uang saku saya tiap pagi ini murah hati betul....

Dia datang hanya beberapa jenak setelah kedatangan pasutri yang selama ini membantu kami merawat rumah imoet kami di Parung, mengantarkan amplop juga. Rupanya, setelah dua pekan ditinggal pengontrak lama, ada pengontrak baru  yang datang. Tak seperti biasanya membayar untuk setengah tahun, kali ini pengontrak baru membayar penuh untuk masa kontrak setahun.

Ini toh, arti mimpi itu? Mungkin iya, mungkin juga yang satu ini: mereka datang dengan menggendong anak bungsunya yang berumur delapan bulan. Ketika saya menyorongkan tangan, Adelia, nama bayi itu, menyambutnya dan saya menimangnya, persis seperti dalam mimpi. Cuma bedanya, suara merdu Barbra Streisand saya enggak keluar. Takut dianya tertidur pulas (whattttt??????).



Satu cangkir kesayangan berikut tatakannya pecah berkeping-keping. Pemilik, alias saya, sedih betul. Bukan apa-apa. Cangkir itu bagian dari satu set perangkat, lengkap dengan gantungan dan tekonya. 

Tak perlu waktu lama, polisi, aka anak perempuan saya, berhasil menangkap pelakunya. Berikut barang bukti foto beberapa saat setelah kejadian, ketika pelaku pertama berusaha kabur.

Ini hasil jepretan kameranya: