Aku kadang terkagum-kagum dengan kakiku. Bukan karena saingan dengan bentuk kaki Luna Maya ya (he..he..), tapi karena dia adalah anggota tubuh yang paling kooperatif saat hati gulana. Bila Dela, sahabatku, di blognya memposting tulisan tentang dia pernah berjalan berkilo-kilo dengan kakinya yang bertelanjang, aku pernah berjalan di 5 mal dalam sehari tanpa membeli apapun, dari pukul 10.00 hingga 22.00! Tentu tak semua waktu dihabiskan untuk jalan. Ada makan mie Aceh, ada nongkrong sejenak di Olala Cafe, atau tenggelam di Kinokuniya.
Ya, aku suka jalan dalam arti sesungguhnya. Dengan berjalan, kita memanen pelajaran. Berjalan membuat kita berempati. Atau bila kita sedang diamuk prahara, menemukan sedikit "pencerahan" (halah...). Itu sebabnya, naik turun angkot tiga kali dari kantor menuju rumahku yang di sempalan itu sungguh aku nikmati.
Dahulu kala, aku pernah bersahabat dengan beberapa pemulung dan anak jalanan yang menjadi nara sumber tulisanku, juga karena hobi jalan ini. Dari mereka aku mendapat banyak informasi baru yang sangat renyah dijadikan topik tulisan.
Tapi ada yang lucu tentang hobi jalan ini. Aku hobi, bojo surojo tidak. Di awal hubungan kami, dia mencoba memahami belahan jiwanya yang jelita ini. Maka suatu hari yang cerah, kami pun berkencan di mal besar di Jakarta Selatan.
Baru beberapa putaran, langkahnya mulai pelan. Lalu terhenti di sebuah rumah makan Jepang. Lalu tak sabar ia meminta minuman manis kepada pelayan restoran. Lalu lagi, keringat aku lihat membanjir di tubuhnya. Dia dehidrasi. Mungkin tak begitu juga tepatnya, tapi hipoglikemia juga. Aku panik. Duniaku seperti berhenti.
Sejak itu, dia jarang terlibat dengan aktivitas jalan. Aku selalu pamit padanya dengan satu kalimat, "Hon, aku mau menikmati hidup dulu!" Dia paham yang aku maksud. Paling sesekali dia SMS, "Dimana?" "Apa saja yang dilihat?" Dan jarang dia tanya, "Beli apa saja?" karena memang seringkali aku tak membeli apa-apa....