Ingan zaman jebod, bawa sak keresek jahitan ke pasar, tepatnya tukang obras. Tak selalu beruntung, karena hanya blio dan Tuhan yang tahu kapan harus buka atau tutup. Apes betul kalau jauh-jauh dituju - setara naik turun dua bukit - ternyata angin sedang bertiup ke arah yang beda: si bapak tak buka lapak. Gilirannya buka, antreannya ngalahin antrean minyak murah di warung sebelahnya.
Sabar...wuih, sakti betul kata itu. Sembari menunggu giliran, sembari cicip sana cicip sini. Paling sering, ngebakso (sama es cendol, kadang es campur, lalu milih2 jepitan, alat2 jahit...halah).
Ujung-ujungnya, biaya "sosial" nya lebih tinggi ketimbang ongkos obras lima baju yang kadang gak nyampai Rp 20 ribu.
Syukurlah, kini ada si Putih. Setelah mencoba aneka stich, ketemulah yang paling mirip dengan obras.
Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone
Sabar...wuih, sakti betul kata itu. Sembari menunggu giliran, sembari cicip sana cicip sini. Paling sering, ngebakso (sama es cendol, kadang es campur, lalu milih2 jepitan, alat2 jahit...halah).
Ujung-ujungnya, biaya "sosial" nya lebih tinggi ketimbang ongkos obras lima baju yang kadang gak nyampai Rp 20 ribu.
Syukurlah, kini ada si Putih. Setelah mencoba aneka stich, ketemulah yang paling mirip dengan obras.
Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone