INR, apa itu? Ini pertanyaan pertama saya ketika dokter menyuruh saya melakukan tes ini berbarengan dengan tes yang lain. Tambah penasaran ketika blio melingkari tebal hasil tes itu, setelah saya mrmbawanya dari Prodia. "Googling ya, kalau ada yang tak jelas, pas kontrol berikutnya kita diskusikan," ujar blio.
INR kependekan dari International Normalised Ratio. Sederhananya, si INR ini adalah 'meteran' untuk mengukur kekentalan darah. Disebut normal jika INR berada pada kisaran 2 sampai 3. Di bawah 2 tidak bagus, di atas 3 juga demikian. Bagi pasien APS, INR di atas 2 dan di bawah 3 adalah berita menggembirakan, melebihi kegembiraan dapat tiket murah Air Asia Jakarta-Osaka, karena artinya darah jauh dari hal yang menyebabkannya menggumpal.
Saat pertama divonis APS, INR saya 1 dan D Dimmer jauh di atas angka 500, mengindikasikan sudah ada bekuan darah dan saya terancam mengalami emboli paru-paru. Pasien APS biasanya diwajibkan memantau INR-nya, paling tidak seminggu sekali. Biayanya sekitar Rp 135 ribu sampai Rp 200 ribu sekali tes di laboratorium swasta.
Dan, hampir tiga minggu ini, saya menjadi 'hamba' INR yang patuh. Karena tes darah terakhir angkanya di bawah 1 - atau tepatnya 0,8 jauh dari angka normal antara 2 sampai 3 - maka dokter memutuskan menambah kadar Simarc 2 yang saya konsumsi. Malam ini, untuk pertama kali saya harus menelan dua butir obat dari keluarga warfarin itu, di samping aspilet dan juga steroid di pagi hari. Harus dipantau dengan tes darah sepekan sekali karena jika kebablasan, berisiko terjadi perdarahan di dalam tubuh.
Semoga pusing dan melayang ini segera berlalu.
*postingan galau di sela denging telinga dan kepala serasa goyang*