Dua minggu ini, saya memasuki dunia yang benar-benar baru: berada dalam barisan segelintir kecil perempuan -- katanya hanya 2 persen yang mengalami -- penderita antiphospholipid syndrome. Para suster di rumah sakit tempat saya dirawat menyebut penyakit ini 'adiknya Lupus'. Mak Aya, wanita Betawi yang kerap memijat saya, dengan melihat biru lebam di kaki saya, menyebut sakit saya karena 'dijilat setan'. "Nanti juga sembuh sendiri," ujarnya. Saya mengangguk saja, menghormati simpatinya.
APS saya bermula akhir bulan lalu, ketika tiba-tiba telinga sebelah kiri tuli mendadak. Ke dokter THT di klinik dekat rumah, dokter bilang telinga saya kotor dan segera dibersihkannya. Besok sembuh, katanya.
Tapi ketika 'besok' itu tiba, tuli tak kunjung hilang. Bojo saya tercinta segera mengajak ke rumah sakit THT Proklamasi di BSD, 20 menit dari rumah. Menjalani audiometri, dokter menyatakan kuping kiri saya fungsinya sudah jauh menurun. Tak bisa mendengar nada-nada bass.
Tuli mendadak, kata dokter THT itu, disebabkan banyak faktor. Bisa virus, tumor di otak atau rahang, udara terjebak, atau darah yang terlalu kental. Saya pulang dengan segepok obat, jumlah enam macam, dan tiap hari harus datang untuk menjalani fisioterapi. Pendengaran berangsur-angsur membaik, walau bunyi denging tak juga hilang. Denging yang saya mencoba membiasakan diri dengannya sampai hari ini.
Dari banyak artikel yang saya baca, jika tuli mendadak tak ditangani dengan baik dalam waktu 14 hari, maka akan menjadi tuli permanen. Pasalnya, sel-sel pendengaran yang tak mendapat suplai oksigen dalam waktu lama akan kehilangan fungsinya.
Insting saya bilang, ada yang salah dengan aliran darah saya. Kalau virus, rasanya tidak karena badan saya tak meriang atau demam. Telinga juga tak sakit. Tumor tampaknya tidak. Yang pasti, saat pusing kepala sebelah mendera, maka denging keras di telinga akan datang disertai jantung berdebar-debat seperti saat menerima pinangan belasan tahun silam (ehm!). Lalu, ya itu, kerap muncul 'pulau' biru di kaki. Atau di saat-saat tertentu, tanpa sebab juga, kaki pegal-pegal kayak habis disuruh kerja rodi.
Saya meminta tolong karib kami -- tepatnya 'emak' asuh, secara blio dulu yang hajatan saat saya dan Jose menikah hehe -- yang bersahabat dengan hematolog senior negeri ini untuk menanyakannya.
Prof Dr Zubeiri Djoerban menyarankan sederet daftar tes laboratorium yang harus saya lakukan, sebelum mendatangi ruang praktiknya. Antara lain darah rutin, INR, D-Dimer, ACA, APTT dan beberapa lainnya. Biaya tes lab nya lumayan....seharga tas batik Gia yang kualitas premium, hehe.
Pendek kata, saya dinyatakan mengidap APS. Di dalam darah saya ada antibodi yang terlalu sigap (atau terlalu idiot?) sehingga menyerang apa saja, bahkan protein baik dalam darah. Diperparah dengan adanya hiperkoagulasi dalam darah saya, yang jika dibiarkan akan membuat saya mati muda karena bekuan darah bisa menyumbat organ utama tubuh. Stroke, serangan jantung, kerusakan hati, atau gagal ginjal adalah risiko terbesar yang akan mengantar saya menjemput maut.
Menyerah? Tidak. Saya menolak untuk karam. Karenanya, saya berobat. Beruntung saya ditangani dokter yang cermat sekaligus jenaka. Saya beroleh banyak hikmah dari sakit ini.
* sambil mengoles thrombophob pada memar yang membiru di beberapa tempat bekas suntikan AriXtra