twitter







Aku menamainya Siti Nurbaya. "Dia" hadiah ibu entah di ulang tahunku yang ke berapa (lupa, umurnya sudah banyak sih sekarang!). Pokoknya, di TV saat itu (of course TVRI, satu-satunya channel saat itu) sedang diputar serial Siti Nurbaya.

Dalam satu episode, Neng Siti yang diperankan Novia Kolopaking (kalo tidak salah) menjahit dengan mesin jahit yang digerakkan pakai tangan. Aku melihatnya dengan takjub...dengan semangkuk liur yang nyaris tumpah (sangat sangat ngiler lah pokoknya!)
Entah karena ibuku memperhatikan ekspresi wajahku atau kebetulan belaka, mesin jahit itu hadir di rumah pas di hari lahirku. Seorang tukang jahit keliling memutuskan untuk pensiun dan menjual mesin itu kepada ibuku. Mesin yang katanya warisan bapaknya yang juga seorang penjahit itu dilego hanya dengan harga Rp 25 ribu saja (saat itu).
Aku girang bukan kepalang. Acara jahit-menjahit menjadi lancar jaya. Aku rajin membuat apa saja dari kain apa saja (gak harus beli kain maksudnya). Paling senang kalau ada "insiden" yang menyangkut kain: bolong karena setrika, sobek secara tidak sengaja, kelunturan, kena noda, dsb.
Sarung bolong bisa jadi baju, sisanya dibuat tempat pinsil, sisanya lagi dibuat cempal. Ya dengan mengandalkan iti Nurbaya itu. Kemana pun aku berpindah tempat, Neng Siti mengikutiku.
Dulu sempat berpikir untuk mempensiunkan Siti setelah aku bekerja dan punya uang sendiri. Tapi tak kesampaian juga. Apalagi Siti tak pernah rewel. Enak dipakai, tidak berisik, dan yang pasti tidak repot. Aku terbiasa dengan mesin tangan, jadi kagok juga kalau harus menggunakan mesin yang lain.
Tapi usia memaksa Siti harus menyerah.
(Dua bulan ini aku menekuni hobi dengan jahit tangan saja, tidak pakai mesin. Siti aku taruh di ruang craft tempat aku menenggelamkan diri saat akhir pekan. Aku sedih...)

0 comments:

Post a Comment

Komentar Teman: