Tak perlu menunggu punya rumah besar dengan kamar banyak untuk mempunyai pojok pribadi kan? Aku berbagi ruang setrika dengan mbak Een di rumahku yang cuma 36 meter persegi itu untuk membuat tempat nyepi paling nyaman ini. Di sinilah aku menghabiskan akhir pekan beberapa minggu ini bersama anakku.
Meja rias aku keluarkan dari kamar. Di atasnya aku simpan perkakas jahit-menjahit. Kotak biru aku beli di pasar kaget dekat rumah, hanya Rp 10 ribu perbuah.
Keranjang literatur. Isinya sebagian besar tentang home and decor, yang aku beli eceran di sebuah toko majalah impor bekas di Pasar Festival (catat: tiap pekan aku pasti ke sana!)
Bentuknya memang sudah tidak menarik, tapi isinya tak pernah basi. Dan yang pasti, penuh inspirasi. Kalau mau dapat yang rabat (dibawah 10 rebu), beli saja yang berbahasa Jerman atau Belanda. gak soal gak paham bahasanya, karena kadang gambar sudah menjelaskan segalanya bukan?
Siti Nurbaya dan kotak perca. Siti adalah mesin jahit yang sudah berpuluh tahun menemaniku. Walau kini sudah usang dimakan usia, namun terlalu sayang kalau Siti harus dibesituakan...
Mengapa aku memilih kamar belakang? Jawabannya sederhana: jendela kamar belakang menghadap langsung ke kebun anggrek ungu milik seorang petani anggrek yang enggan menyerahkan tanahnya pada developer tempat rumahku berada. Anggrek itu berbunga sepanjang tahun, tak kenal musim.
Karena banyak bunga, maka konsekuensi lain selain pemandangan indah adalah: banyak kupu-kupu aneka warna hilir mudik di sekitarnya, kicau burung bisa dinikmati sepanjang pagi, angin datang dan pergi tanpa perlu AC, dan ketika hujan jatuh, apa yang lebih nikmat ketimbang menyeruput kopi hangat sambil menonton butir-butir air jatuh satu-satu?