Tiap kali melihat bantal itu, aku kangen ibu, yang sudah makin sepuh. Ibu dan bapak masih semesra puluhan tahun lalu dan tinggal masih di rumah yang sama ketika kami kecil dulu, di tempat asalku, Purbalingga, Jawa Tengah.
Bantal sederhana itu adalah salah satu wujud keteguhan hati wanita yang telah membesarkan lima buah hatinya bersamaan (usia kami anak-anak ibu hanya berjarak 1,5 tahun) dan dua orang "bonus" yang hadir kemudian setelah kami remaja.
Sembilan tahun lalu, ibu mengalami stroke. Pingsan di rumah sendirian saja, karena bapak sedang berkunjung ke rumahku, setelah menyelesaikan suatu urusan di Jakarta. Kakak tertuaku yang tinggal di kota yang sama mengantarkan beliau ke rumah sakit, sebelum dia mengabari seluruh adik-adiknya.
Beberapa hari dirawat di rumah sakit, ibu pulang dalam kondisi yang tidak prima lagi. Hidupnya harus disokong obat, bahkan sampai sekarang. Memorinya harus dikumpulkan lagi satu-satu. Tapi tekad ibu saat itu, adalah, "Aku harus sehat dan sembuh. Aku ingin main tampokan (badminton) lagi sama bapak."
Begitu tangan sudah mulai kuat, ibu kembali menekuni hobinya: menjahit (ingat kan, ibuku adalah "master" dalam urusan membuat baju kembar lima?). Karena tak ada kain baru, ibu memungut remah-remah kain yang tersisa, perca-perca sisa jahitan sebelumnya. Jadilah bertumpuk sarung bantal, taplak meja, serbet makan, hingga selimut. Dan ajaib, selama proses jahit-menjahit itu berlangsung, ibuku berangsur sembuh. Bahkan kaki mulai lihai kembali menggenjot mesin jahit.
Kami takjub waktu pulang kampung dan kumpul bersama, karya-karya itu terpajang dengan indahnya. Bantal perca ada di tiap kamar kami. Bahkan ibu juga membuat versi imut untuk bayi kakakku. Kami mendengarkan cerita bapak tentang kegiatan ibu pascastroke sambil tersenyum dan menangis.....
Kini bantal-bantal itu tersebar di rumah anak-anaknya dan menjadi bantal kesayangan para cucunya. Ya Allah, terima kasih telah menguatkan ibuku....