twitter


Menemukan 'kartu pers' Kakak saat menjadi wartawan di Kidzania beberapa tahun lalu, mengingatkan saya pada obrolan dengan Pak Lurah di desa tempat saya Kuliah Kerja Nyata (KKN) hampir 20 tahun lalu. Zaman saya kuliah, KKN menjadi syarat wajib biar bisa menyandang gelar sarjana.

Empat tahun setelah KKN, kami berlima yang sama-sama sudah lulus dan bekerja di berbagai kota, sepakat untuk bereuni di desa KKN dulu yang letaknya nun jauh dari kota, berbatasan dengan hutan di Kecamatan Karang Anyar, Purbalingga. Haris batal ikut, karena ada meeting dengan klien potensial perusahaannya.

Pak Lurah: kalian sekarang dines dimana?(Dines is from a word: dinas. Kerja dalam bahasa sono).

Lenny: (saat itu menjadi dealer valas termuda di bank swasta ternama di Jakarta) di bank, pak. (Pak Lurah segera acung jempol).

Sigit: (juga bekerja di kantor pusat sebuah bank BUMN) saya juga di bank.

(Pak lurah terlihat mengangguk-angguk dengan wajah sumringah. Tampak betul blio sangat bahagia)

Ketut: (yang memang dari dulu bercita-cita bekerja di kapal pesiar asing, menjawab mantap: ) di kapal pesiar Itali, Pak.

Saya: (ketimbang ribet menjelaskan bahwa saya bekerja sebagai wartawan di sebuah media nasional, yang kerjaannya memburu dan menembus nara sumber seharian hanya untuk membuat tulisan 3.500 karakter,  menyederhanakan kalimat dengan: ) saya bekerja di koran, Pak Lurah.

Pak lurah: dengan tatapan prihatin tajam ke arah mata saya, menjawab tak kalah mantap, "Tak apa-apa Nak Siwi, yang penting halal!"

Kami semua mesem-mesem mendengarnya. Sejak itu, ketiga teman saya ini selalu terbahak bila mengingat percakapan ini. Tentang pak Lurah yang prihatin "anak"-nya jadi penjual koran di lampu merah jakarta.

Namun seperti kata blio, apapun pekerjaan adalah mulia, yang penting halal. Percuma jadi menteri, petinggi partai, atau pengusaha kaya raya, tapi diperoleh dengan cara tak halal, aka K-O-R-U-P-S-I. Betul tidak?

Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone

0 comments:

Post a Comment

Komentar Teman: